Senin, 12 Desember 2016

Resensi Buku Tere Liye "Tentang Kamu"


   Thompson & Co., sebuah firma hukum yang berdiri takzim di Belgrave Square, London. Firma hukum ini sama sekali tidak megah, tidak glamor, namun namanya selalu disebut dengan penuh kehormatan. Hanya pengacara-pengacara terbaik yang bisa bekerja di firma hukum ini. Dan, Zaman, adalah satu diantaranya.
      
Zaman Zulkarnaen. Pemuda asal Indonesia berusia 30 tahun, salah satu “ksatria” terbaik yang dimiliki oleh Thompson & Co. Bukan. Buku ini sama sekali bukan tentang kehidupan pribadi Zaman, apalagi menceritakan kisah cintanya. Bahkan tentang asmara Zaman hanya dibahas tidak lebih dari satu bab saja dari keseluruhan 33 bab buku ini.
      
Kisah dimulai ketika salah satu klien Thompson & Co. wafat di Paris. Meninggalkan warisan sebesar satu miliar poundsterling, atau setara dengan 19 triliun rupiah, dalam bentuk saham.

Adalah Sri Ningsih. Meninggal pada usia 70 tahun. Wanita pemegang paspor Inggris dan izin menetap di Perancis. Sayangnya, klien ini belasan tahun terakhir menghabiskan hari-harinya di panti jompo. Ya, orang kaya raya ini melewati masa tuanya di tempat yang tidak semestinya ia berada. Mengingat harta yang ditinggalkannya sekian besar, bahkan ia bisa hidup di rumah atau apartemen mewah dan serba berkecukupan. Namun, tidak demikian bagi Sri Ningsih.
      
Sri Ningsih kecil tidak lain adalah anak seorang nelayan dari Pulau Bungin, Sumbawa. Ibunya, Rahayu, meninggal ketika melahirkannya. Ayahnya, Nugroho, kemudian menikah lagi dengan Nusi Maratta, perempuan asli Pulau Bungin. Sri hidup bahagia dengan keluarga barunya. Nugroho dan Nusi begitu menyayanginya. Sayangnya, semua harus berakhir ketika Nugroho tak kunjung pulang dari melaut berhari-hari. Hingga kabar itu datang, Nugroho tenggelam tanpa ditemukan jasadnya. Kedua kalinya, Sri harus kehilangan orang yang begitu berarti dalam hidupnya.
       
Kematian Nugroho membuat Nusi Maratta berubah watak 180 derajat. Jangankan menyayangi Sri seperti dulu. Bahkan, Nusi menganggap Sri adalah anak pembawa sial. Ia tega menyuruh-suruh Sri yang baru berusia belasan tahun untuk mencari teripang dan bulu babi yang nantinya akan dijual. Hasilnya digunakan untuk keperluan sehari-hari. Sri juga harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tanpa terkecuali. Tak jarang Sri harus tidur di teras bersama tampias hujan atau tak dapat jatah makan hanya karena kesalahan kecil, yang terkadang sebenarnya tidak ia perbuat. Namun, Sri menjalaninya dengan ikhlas karena bagaimanapun ia tetap menyayangi Nusi dan Tilamuta, adik tirinya yang masih balita. Bagi Sri, tinggal mereka berdua harta terbesar yang ia miliki.
      
Musibah tampaknya masih enggan berhenti menguji hidup Sri Ningsih. Sri melihat rumahnya terbakar ketika ia pulang dari makam Rahayu di pulau seberang. Ia bergegas menyelamatkan Nusi dan Tilamuta. Ia pertaruhkan nyawanya saat itu. Sayangnya, lagi-lagi, Sri harus kehilangan. Nusi tak berhasil ditolong. Namun, baginya harus tetap ada yang patut disyukuri di balik musibah apapun. Sri masih punya Tilamuta. Tilamuta selamat dan kini menjadi harta satu-satunya yang dimiliki Sri.

Sri dan Tilamuta hidup menumpang sana-sini, terlunta sejak kecil. Bagaimana bisa Sri lantas berkeliling dunia? Bagaimana mungkin ketika ia wafat meninggalkan warisan yang bernilai fantastis? Bahkan, nyaris setara dengan kekayaan Ratu Inggris.
      
Dan, Zaman, sebagai junior lawyer yang baru bekerja kurang lebih empat tahun di Thompson & Co., dituntut untuk melakukan settlement atas kasus ini dengan seadil-adilnya. Menyusun puzzle sepotong demi sepotong kehidupan Sri Ningsih. Menelusuri 70 tahun ke belakang kehidupan Sri Ningsih untuk menemukan siapa yang berhak atas warisan yang ia tinggalkan. Mengunjungi tiga negara, lima kota, untuk menemukan beribu luka seorang Sri Ningsih. Jika Zaman berhasil atas kasus ini, jabatan lebih tinggi akan didudukinya. Namun, sungguh, bukan itu tujuan Zaman menerima kasus ini. Sama sekali bukan.
     
Dari petualangannya menguak kehidupan Sri, Zaman berkenalan dengan banyak orang baik tanpa pernah menemui mereka secara langsung. Nuraini, keluarga Kiai Maksum, Hakan, keluarga besar panti jompo, dan keluarga Rajendra Khan. Juga orang-orang bertabiat buruk yang bahkan kejahatannya terhadap Sri dapat pula Zaman rasakan meski ia hanya tahu melalui cerita saksi-saksi kunci. Mbak Lastri, Mas Musoh. Dan berkat kasus ini juga, Zaman bertemu dengan Madame Aimee, cintanya. Tentu, harus membaca buku ini untuk mengenal mereka satu per satu.
      
Buku ini bicara banyak tentang tiga hal besar. Pertama, kesabaran yang tiada henti akan membawa kebahagiaan pada waktunya. Kesabaran yang tidak pernah putus akan membuat hati jauh lebih tenang dan terhindar dari dengki dendam. Kedua, prinsip hidup yang kokoh meski dihajar musibah sedemikian banyak dan berat. Dan terakhir, tekad kuat dan kejujuran. Ketiganya akan beriringan mengantar siapapun pada mimpinya. Bahkan mimpi yang kata orang mustahil sekalipun.
      
Tere Liye sangat cerdik menempatkan setiap alur kisah ini. Pertanyaan sekaligus jawabannya akan muncul silih berganti sepanjang membaca buku ini. Gaya bercerita khas Tere Liye yang teramat mendetail dan mengalir membuat pembaca seperti benar-benar menyelam dalam cerita. Seakan benar-benar sedang di Paris bersama Sri, sedang naik bus merah khas London yang dikemudikan Sri, sedang ikut Sri menyikat kakus pesantren, seperti ikut kemana pun Sri Pergi. Kalimat yang digunakan pun sederhana, namun sarat emosi dan cukup membuat pembaca mengangguk kemudian terpejam membenarkan berkali-kali.
       
Membaca buku ini sedikit banyak membuka hati dan pikiran, bahwa hidup harus selalu disyukuri. Semenyakitkan apapun, hidup akan mengobati setiap luka-luka yang dirawat oleh pemiliknya. Sebanyak apapun kehilangan, hidup akan tetap berpihak pada hati-hati yang ikhlas. Hidup akan membela siapapun yang benar. Hidup akan menempa siapapun yang senantiasa sabar.

Sabtu, 11 Juni 2016

Kemutlakan Tuhan Bernama 'Perpisahan'

Perpisahan. Sebuah kata benda yang banyak disumpahi orang-orang. Termasuk aku. Yang begitu membenci kemutlakan Tuhan yang satu ini. Iya, aku benci.

Perpisahan. Pernah membuatku perlahan berbisik kepada Tuhan selepas solat dhuhur di belakangmu. Untuk lebih lama memberhentikan matahari, meski hanya beberapa detik. Doa ketidakmungkinan yang dilontarkan dengan ketidakwarasan. Karena ketidaksanggupanku menerima kenyataan mengapa pertemuan kita terasa begitu singkat. Ah!

Perpisahan. Pernah membuatku diam-diam berdoa di boncenganmu. Meminta kepada Dzat Yang Maha Berhak untuk mengulur-ulur waktu. Memohon kepadaNya agar ada pertemuan-pertemuan berikutnya. Hingga akhirnya sampai pada titik pertemuan tanpa perpisahan apapun selain permintaan pulang dariNya.

Perpisahan. Pernah membuatku menyuruhmu lekas-lekas pergi dari hadapanku. Karena sejenak logikaku tidak siap dengan perpisahan yang sebentar lagi mengakhiri kebersamaan kita. Aku malu jika kau harus melihatku menangis. Aku tidak ingin kerapuhanku terbongkar olehmu. Aku sungguh, tidak sanggup menahan apapun yang ingin tumpah saat itu. Maka, aku menyuruhmu segera meninggalkanku sebelum pertahananku runtuh untuk tidak menyesali apapun.

Perpisahan. Pernah membuatku menangis sejadi-jadinya di stasiun. Bahkan, dalam gerbong kereta api yang membawa tubuhku semakin menjauhimu kala itu. Sepanjang ular besi melaju, menyelesaikan jarak tempuhnya, selama itu aku tak berhasil memberhentikan air mataku.

Perpisahan. Sejak saat itu, hingga saat ini, selalu, menyemai tunas-tunas rindu yang makin hari makin bertumbuh. Semakin merimbun ketika perpisahan yang tak kunjung disambut lagi dengan pertemuan.

Seseorang yang pernah menemaniku melepas senja, aku teramat kangen. Harus bagaimana aku? Bahkan pengalihan apapun tak sanggup meredakan gemuruh tak tahu diri ini. Tidak ada yang lain, yang bisa kulakukan. Selain menangis, merengek sebuah pertemuan lewat doa, juga meruntuki perpisahan, dan memakinya habis-habisan.

Senin, 07 Desember 2015

Maka, Kumohon Datanglah..

Aku rindu hujan...
Tanah dan atap-atap rumah yang basah kecokelatan. Aroma yang sempurna untuk mengingat. Dingin yang pas untuk memeluk lutut. Bertopang dagu, memejamkan mata menatap yang tak mampu dilihat dengan mata. Tentu saja akan datang yang lebih ramai dibandingkan suara gemercik air dari langit.

Aku rindu hujan...
Suara dan kilatan petir yang keras. Menyentak apapun yang sebelumnya tenang. Lebih baik mengurung diri di balik selimut, menutup telinga. Lalu akan terdengar yang lebih berisik dibandingkan halilintar yang bersahutan kala badai.

Aku rindu kau..
Semakin sempurna rinduku karena malam dan hujan. Sendirian, aku kau buat ramai gaduh. Kesepian, aku kau buat berdesakan di antara kenangan dan harapan. Begitulah jika aku tanpa kau. Aku butuh nyaman, aku butuh hangat. Maka, kumohon datanglah. Peluk aku di antara kedua lenganmu dan tenangkan aku dengan satu dua kecupan bibirmu di keningku..

Selasa, 24 November 2015

Apa Namanya?


Apa namanya? Ketika kamu benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan seseorang. Ketika semua yang kamu lihat, kamu sentuh, dan kamu rasakan menjelma menjadi dia. Entah itu hanya halusinasimu, atau memang dia benar-benar sudah menjalari seluruh indera dalam tubuhmu.

Apa namanya? Ketika kamu benar-benar mencemaskan seseorang. Ketika kamu sangat takut hal buruk terjadi padanya. Ketika kamu selalu mengkhawatirkan keadaannya. Ketika kamu begitu ingin selalu di dekatnya, menghalau segala luka dan duka yang hendak menyambanginya sejauh yang kamu bisa. Bahkan, jika tubuh dan rasamu pun harus ikut terluka, mungkin bagimu itu tidak seberapa jika dibanding dia yang harus menanggung duka.

Apa namanya? Ketika yang ada dibenakmu adalah tentang kebahagiaan seseorang. Melihat tawa dan senyumnya menjadi hal yang begitu menenangkan. Ketika kamu sangat takut membuatnya merasa tidak nyaman.

Dan, apa namanya? Ketika kamu benar-benar takut akan kepergian seseorang dari hidupmu. Seperti ada yang kamu sesali ketika dia pergi. Bukan, bukan menyesali apapun tentang dia. Melainkan menyesali dirimu sendiri, lalu kamu berpikir ulang apakah ada yang salah dari tindakanmu sehinga dia begitu saja menjauh?

Sayangnya, aku juga tidak mengerti mengapa demikian. Aku juga tidak tahu semua itu apa namanya. Karena, perasaan yang lebih dari itu tengah menimpaku saat ini.

Dia, adalah penting dalam keseharianku. Kabarnya menjadi salah satu kewajiban untuk kucari tahu. Apakah dia sehat? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia bahagia? Ke mana saja dia hari ini? Apa saja yang dia lakukan? Dan, bersama siapa kah dia? Sialnya, aku tidak bisa menanyakan semua itu kepadanya. Aku harus cari tahu dengan caraku sendiri. Meski pada akhirnya, tak jarang aku gagal mendapatkan apa yang ingin ku ketahui.

Entahlah, itu apa namanya. Yang jelas, selalu memberi yang terbaik untuknya adalah deretan keinginan yang selalu kuusahakan. Apa pun, asalkan dia bahagia.

Apa namanya?

Jumat, 12 Juni 2015

Sudah, Aku Sudah Mengalah..

Mengalah kepada waktu. Itukah yang kau mau untuk kulakukan?

Sepatah kata yang tak lagi punya daya. Kau tanya seberapa lama lagi aku akan begini? Tak Sedikitpun beranjak dari tempat kita terakhir bertemu. Ini semua aku lakukan karena aku tak tahu lagi harus ke mana.

Kau tahu? Aku tidak pergi sejak itu, aku sekarang tersesat. Atau terperangkap lebih tepatnya. Pada sebuah ruang yang aku sendiri tak tahu apa warnanya, apa rasanya.

Sudah, sudah lama aku mengalah kepada waktu. Aku membiarkan ia membawa seluruh dukaku, sukaku, bahkan segalanya kulepas pergi bersamanya. Anehnya, rindu itu tak pernah habis meski waktu selama ini telah mengikis. Lagi-lagi, aku mengalah dan menanggung semua tanpa bantuan.

Apa lagi yang masih kau ragukan? Tak bisakah kau sedikit berbaik hati untuk menolongku? Keluarkan aku dari ruangan ini. Agar waktu tak semena-mena menghajarku, mengaduk-aduk, memaju-mundurkan kenangan-kenangan. Setidaknya, tunjukkan di mana pintunya, dan aku akan berjalan keluar sendiri.

Minggu, 26 April 2015

Entah Kapan, Sebelum Aku Menyerah...

*Backsong: I Surrender - Celine Dion

I know I can't survive
Another night away from you
You're the reason I go on
And now I need to live the truth
Right now, there's no better time
From this fear I will break free
And I'll live again with love
And no they can't take that away from me
And they will see...

I'd surrender everything
To feel the chance to live again
I reach to you
I know you can feel it too
We'd make it through
A thousand dreams I still believe
I'd make you give them all to me
I'd hold you in my arms and never let go
I surrender

Penggalan lirik itu mungkin mengawali pebicaraanku malam ini. Pembicaraanku dengan diriku sendiri. Aku kepada aku. Bukan kepada siapapun. Sayangnya, tentu saja perkara aku adalah tentang dia. Dia yang sejauh ini masih tetap kokoh di tempatnya. Dia yang selama ini masih memberi setitik labirin untuk hatiku. Sayangnya lagi, ia tidak memberikan hal yang sama kepada logikaku. Aku sadar, aku bodoh karena dia, dan aku bodoh untuk dia.

Aku bahkan tak pernah tahu kapan semua ini dimulai. Kapan dia mulai membangun kerajaannya. Aku juga tidak pernah memahami ke mana aliran itu menjatuhkan dirinya. Yang aku tahu, semuanya terlanjur basah. Dan aku belum melihat pintu terakhir dari semua ini. Masih lorong yang gelap, bahkan bercabang yang aku sulit untuk memilih jalan mana yang benar.

Entahlah, ketika mendengar tentang dia, tubuh serasa tidak berotot. Lemas. Lemas yang kunikmati. Aku tak berdaya, tapi aku menikmatinya. Aku tak bisa apa-apa, tapi aku enggan beranjak. Aku kalah, karena memang telak, aku selalu memenangkan dia. Aku bodoh, lagi-lagi.

Aku tahu, aku bukan yang terbaik untuk merawat apa yang dia punya. Tapi, aku punya cukup kesabaran untuk mendampingi perjalanannya. Aku yakin, dia juga merasakan hal itu. Meski pada akhirnya aku harus tetap melihat orang lain merawat segalanya yang dia punya, setidaknya aku pernah berusaha. Entah kapan, sebelum aku menyerah........

Senin, 16 Februari 2015

Sebutir Rasa



*Backsong: Dealova by Once
Sebutir rasa yang sejak lama telah tersemai dengan sendirinya. Butir itu menumbuhkan akar di sekujur tubuhnya. Mencengkeram bongkahan hati, kemudian berkembang di sana. Sungguh aneh, ketika tumbuhnya terlalu pesat, tanpa pupuk, tanpa ada yang mengairi. Bahkan, sekarang sebutir itu telah menjadi pohon yang kokoh, berbuah sampai jatuh, menyemai butir baru. Kini, entah sudah berapa ratus, ribu, bahkan juta pohon kokoh yang terus berkembang di taman hati.
Tentu, semua orang tau bahwa tulisanku tak akan jauh dari perihal kamu. Tak terkecuali kali ini. Pohon-pohon itu makin menjadi-jadi. Pohon-pohon itu terkadang begitu munafik, Sayang. Ada kalanya ia berbunga, wangi, indah. Ada kalanya bunga itu gugur tiba-tiba, lalu tumbuh benalu yang begitu memberatkan tangkai-tangkainya. Pergantiannya tak tentu. Begitu merepotkan sang pemilik taman hati. Tentu saja, sang pemilik berusaha keras mengurus taman itu agar tetap indah, setidaknya benalu tidak merundukkan dahan-dahan pohonnya. Dengan cara apapun, dengan jalan manapun, tak segan ditempuh.
Taman hati itu layaknya sebuah harapan, Sayang. Terus diusahakan hingga suatu hari nanti taman itu bisa subur dengan pohon-pohon yang berbunga indah, banyak dihinggapi serangga pemburu nektar. Dan taman-taman di negeri-negeri dongeng akan benar-benar nyata, dengan kastil tinggi lebar di ujungnya, berpenghuni seorang raja dan ratu.
Siapa yang mau harapan itu dicacah oleh luka? Tapi, jika pada akhirnya harus demikian, tak usah kau tanya seberapa sanggup pemilik taman berlapang dada. Karena sesungguhnya selapang-lapangnya hati seseorang adalah ketika ia ikhlas memberikan waktunya untuk merawat sesuatu yang siapa tau nantinya justru akan mengoyak jiwanya dan merusak tubuhnya.

Kamis, 24 Juli 2014

Rindu, Teramat Rindu, Teramat Sangat Rindu



Subuh ini, rindu masih enggan beranjak sesenti pun dari otak, hati, dan segala organ sumber perasaan. Iya, masih tentang rindu. Jangan bosan. Karena memang rindu adalah ungkapan terbaik dari sebuah perasaan cinta. Kau akan rindu jika kau tulus mencintai. Kau akan rindu jika kau ikhlas menyayangi. Dan kau akan rindu jika kau apa adanya menyukai.

Semudah itu memang untuk mengenali sebuah rasa. Jika dia merindukanmu, maka dia mencintaimu. Simpel. Tapi, sayangnya tak ada barometer untuk mengukur seberapa besar kadar sebuah rindu. Hanya sebatas “rindu”, “teramat rindu”, atau “teramat sangat rindu”. Oh, ternyata tidak sesimpel itu. Rindu tetap saja rumit.

Subuh ini, ada geliat yang mendesak hatiku untuk lebih dalam memikirkanmu. Muncul begitu saja, memang. Baiklah, aku tak bisa mengelak. Lagi-lagi aku harus mengikuti geliat itu. Memikirkanmu lebih dalam, terhipnotis, lantas aku mudah tumbang. Iya, siapa lagi? Geliat itu namanya rindu. Lalu, apakah ini rindu, teramat rindu, atau teramat sangat rindu? Hanya “rindu” barangkali.

Ketika kita dekat, rindu itu seakan hilang, lebur lenyap. Ketika kita jauh, membuncah! Hati dan pikiran ini dengan cepat terasa penuh, sesak. Tidak tahu oleh apa, yang jelas penyembuhnya hanya satu: Kau! Ini kah yang namanya “teramat rindu”?

Entahlah, aku sudah terlalu mudah untuk merasakan sebuah rindu. Sedikit-sedikit rindu, sebentar-sebentar rindu, lepas bertemu rindu, lepas telepon rindu. Intensitasnya begitu masif. Oh, aku paham. Aku “teramat sangat rindu”.

Tiga-tiganya aku punya. Sedalam itu. Lalu, bagian mana lagi yang kau ragukan dariku?

Rabu, 16 Juli 2014

Perihal Kamu

Pertimbangan apa lagi yang harus kujadikan alasan untuk tetap mempertahankanmu? Ketika semua yang kuharapkan tak lagi menjadi keinginanmu. Antara ujung runcing jarum dengan lubang tumpul pengait benang sampai kapanpun akan sulit bertemu. Antara langit dan laut yang sampai kapanpun tak akan bertukar tempat. Hanya saling berkaca, mustahil berpapasan atau bahkan membias jadi satu. Mungkin senja. Tapi bukankah senja akan selamanya menjadi pembohong? Terlihat indah, tapi sejatinya ia tak ada. Kosong. Mempertemukan tapi tidak mempersatukan.

Pertimbangan apa lagi yang harus kuukur agar aku tetap mempertahankanmu? Sedangkan pelangi yang hendak kamu raih telah kamu dapatkan satu per satu warnanya. Dan aku? Masih terpaku di tanah. Bisu dengan semua yang terjadi, lelap dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.

Terkadang, aku mengurai sendiri silogisme tentang dua hal yang dekat. Kubolak-balik berulang-ulang, kupaksa harus berhubungan, mencari jalan agar bertemu satu sama lain, tapi sebenarnya keduanya tak saling terkait. Aku dan kamu. Jadi, lagi-lagi silogisme itu palsu.

Apa yang bisa aku lakukan lagi? Selain membatasi diriku sendiri untuk terus berkutat dengan apapun tentang kamu. Aku bukan lelah. Aku hanya tidak mau memaksakan yang sampai kapanpun tidak akan pernah terjadi.

Kamu tahu hakikat cinta? Perasaan suka yang kemudian mendatangkan rindu. Aku selalu memaknainya dengan sederhana. Sesederhana mawar yang sampai kapanpun akan menjaga warnanya agar tetap merah. Sesederhana luka yang pasti akan mengering meskipun entah kapan dan berapa lama. Sederhana, kesulitan yang sederhana.

Kamu tahu perihal cinta, rindu, dua ujung jarum, langit, laut, senja, pelangi, mawar, dan tanah yang kusebut barusan? Adalah sebuah kesempurnaan yang tidak sempurna yang dapat kukatakan untuk menggambarkan kamu. Setidaksempurna apapun kamu, adalah yang paling sempurna dari siapapun hati yang pernah kukenal. Terima kasih untuk selama ini. Terima kasih kamu selalu berhasil membuatku bangga. Dan terima kasih kamu tak pernah gagal untuk membuatku selalu bersyukur.

Maaf, jika selama ini aku terlalu erat menggenggam pergelanganmu. Sekarang, aku lepas. Terbanglah. Sampai kamu berhasil melengkapi warna pelangimu. Tapi, ada satu hal yang harus kamu cetak tebal dalam pikiranmu. Ketika suatu saat kamu memutuskan untuk kembali ke tempat ini, maka kamu masih akan menemukanku. Di hatimu, dan di hatiku.

Minggu, 01 Juni 2014

Langit dan Laut



Tentang sebuah kebohongan, dari semburat jingga dan senja
Kepada langit, juga kepada laut

Tanyakan pada langit, apakah ia pernah bertemu dengan laut?
“tidak, langit hanya selalu bercermin pada indah air kacanya”, camar mewakili langit
Demikian pula pada laut, apakah ia pernah berjumpa dengan langit?
“tidak, laut hanya mampu melihat kemegahannya dari jauh”, karang menyulihi laut

Lalu, ketika kau di pinggir pantai petang hari, apa yang kau lihat?
Langit, laut, dan setengah matahari tengah bersenggama.
Akrab, dekat, tapi sejatinya mereka jauh, tidak pada satu tempat.

Apa lagi yang bisa kau percaya dari senja?
Bahkan keindahan merah keunguannya palsu.
Ia hanya berpura-pura mempertemukan dua hal yang jauh,
Tak ada seujungpun yang akan mempersamakan.

Apa lagi yang bisa kau andalkan dari senja?
Bahkan, ketika pasir melegam, matahari nyaris karam, ia pergi.
Menghitamkan perahu-perahu nelayan, menyisakan debur yang sepi
Kembali meninggalkan langit dan laut sendirian dalam ketidakbersamaan
Malah terkadang menjejakkan mendung, membuat langit menangis
Dan laut terhunjam buliran hujan
Berkat senja, kini langit dan laut saling tersakiti
Auliya Ulfa

Minggu, 22 Desember 2013

Ada Seseorang...

Ada seseorang dalam hidupku, ketika ia pergi akan membawa sepotong hatiku..
Ada seseorang yang tanpa sadar melukaiku, tapi aku tak pernah berniat membalasnya, selalu ikhlas menerimanya..
Ada seseorang yang ketika ia bahagia, aku akan ikut bahagia. Meskipun bahagianya bukan denganku..
Ada seseorang yang ketika ia terluka, aku akan ikut terluka. Dan di saat apapun, aku akan selalu ada untuknya.

Hakikat perasaan adalah ketika semua masih bisa dirasakan. Selapang-lapangnya hati adalah ketika ia ikhlas menerima apapun yang tidak diharapkan. Ketahuilah, asumsi "Cinta harus memiliki" sejatinya kudu disilang besar-besar dalam pikiran.

Tentang mencintai dan menunggu, iya, hanya itu pekerjaan perempuan. Boleh jadi, memang kodratnya begitu. Resiko? Cukup berat. Ketika ujungnya benangnya tidak ketemu, maka benang itu sendiri yang akan menyayat perasaannya..

Sabtu, 14 Desember 2013

Semua Abu-Abu

Ketika dua pasang mata tak sengaja saling bertatap, ada yang berbeda. Aku begitu kaku. Matamu merasuk begitu dalam hingga ulu. Ada ketenangan. Tapi aku begitu sungkan. Perasaanku amat sangat rentan terhadapmu. Apa ini?

Seandainya boleh, aku ingin bercerita. Namun, entah tentang apa. Aku bingung. Banyak yang bercecer dalam pikiranku. Kepingan-kepinganmu yang begitu sulit kususun. Bagiku, kau misterius. Tentangmu, begitu sulit kupahami. Bahkan, yang kasat pun sulit kulihat. Gerikmu, bahasa tubuhmu, entahlah! Kau menenggelamkanku dalam kesunyian yang bimbang.

Sedingin malam ini. Membeku. Nalarku tak menemui apa yang angan-anganku cari. Ketika telah kukumpulkan yang berantakan, tetap tak kutemukan kamu. Lebih dari bisu, dalam tindakanmu yang ambigu. Semua justru semakin kaubuat ragu.

Terlalu tinggikah jika aku ingin masuk ke dalam setiap doamu? Bahkan, pintunya belum juga kujumpai. Masih terkurung dalam senyap yang pekat. Sekelilingku samar-samar. Keputusan begitu sulit dijatuhkan. Tentang tetap berkutat dengan kisi-kisimu, atau cukup?

Dalam tenangmu, dalam kelembutanmu, dan dalam kepedulianmu. Aku kaubuat tak berkutik. Aku kaubuat lemas di langit. Semua abu-abu. Iya, aku tahu, semua terserah waktu..

Jumat, 15 November 2013

Rindu dan Pengabaian

Semenjak itu, semenjak kau tinggalkan bekas pada kesunyian
Seseorang merindumu sekian musim

Kesakitan bukan lagi rasa yang asing
bukan lagi dentingan musik yang mengiris
kesakitan adalah kawan
kawan yang setia mengantarnya ke pintu kenyamanan

Bahkan, ketika malam menidurkannya dalam senyap luka
ia masih bisa nyenyak

Sebab, rindu dan pengabaian yang mempertemukannya dengan segala bentuk mata pisau
mata pisau yang ujungnya berkilat, siap menyayat

Sebab, rindu dan pengabaian memaksa hatinya untuk membaja
hingga suatu saat mata-mata pisau itu bengkok
kelelahan dan menyerah!

Hatinya keras, beku, tak mau tahu tentang apapun
kecuali biang rindu yang diembannya



Madiun, 15 November 2013

Sabtu, 02 November 2013

Sunset Bersama Rosie, Tere Liye

 
Sebuah novel karya Tere Liye yang membuat saya mengerti banyak hal. Yang telah menumbuhkan pemahaman-pemahaman baru dalam hidup saya.
 
Tentang definisi cinta, secara paten belum ada yang mampu memaparkan apa itu cinta. Bukan berarti ia tak terdefinisikan. Cinta punya banyak perspektif. Setiap orang berhak, boleh mendefinisikan dan memahami cinta menurut pikiran dan perasaannya masing-masing. Tak boleh disalahkan, dan tak ada yang berhak membenarkan, kecuali pikiran dan perasaannya sendiri.

"Aku tidak tahu apa perasaan itu, Ros. Yang aku tahu aku selalu merasa senang bersamamu. Merasa tenteram dari semua galau. Merasa damai dari semua senyap. Aku merasa kau membuatku setiap hari lebih baik. Menumbuhkan semangat, memberikan energi." -Uncle, Om, Paman Tegar-
(Tere Liye, Sunset Bersama Rosie, halaman 32)

Ada kalanya cinta dapat membuat seseorang melupakan dirinya sendiri. Yang dia ingat, yang ada dipikirannya hanyalah orang yang ia cintai.

Kata orang bijak, kita tidak pernah merasa lapar utuk dua hal. Satu, karena jatuh cita. Dua, karena kesedihan yang mendalam. Aku pernah merasakan dua hal itu sekaligus. Cinta dan rasa sedih. Jadi bayangkanlah betapa tidak pentingnya urusan makan.
(Tere Liye, Sunset Bersama Rosie, halaman 66)
Sakit adalah ketika cinta itu berat sebelah. Ketika dua hati tidak saling, tidak sama-sama berjuang. Bayangkan! Betapa berat beban satu hati yang harus berusaha sendiri, berjalan sendiri, sakit sendiri. Sedangkan hati satunya hanya diam, bahkan tidak respek.

"Padahal kau tau, semua itu sungguh menyakitkan, karena aku tidak pernah tahu apakah kau pernah sekalipun mencintaiku atau tidak" -Sekar-
(Tere Liye, Sunset Bersama Rosie, halaman 206)

Tetapi, ketika cinta sudah mengeluarkan segala energi positifnya, justru ia akan membangun seseorang untuk menjadi lebih baik. Memberi pemahaman lurus kepada setiap penderitnya. Mengajarkan apa itu keikhlasan memberi tanpa menunggu balasan, mengajarkan untuk merendah dan memaafkan tanpa harus mendendam, meski berat dan menyakitkan. Mengajarkan bahwa sebuah pengorbanan harus dilakukan demi masa depan yang lebih baik.

"Kalian akan tumbuh menjadi anak-anak yang mengerti. Mengerti bahwa memaafkan itu proses yang menyakitkan. Mengerti, walau menyakitkan itu harus dilalui agar langkah kita menjadi jauh lebih ringan. Ketahuilah, memaafkan orang lain sebenarnya jauh lebih mudah dibandingkan memaafkan diri sendiri." -Uncle, Om, Paman Tegar-
(Tere Liye, Sunset Bersama Rosie, halaman 246)

Lilin itu membakar tubuhnya sendiri untuk mengeluarkan cahay. Begitulah kehidupan. Kita mengorbankan diri kita untuk sesuatu yang lebih indah. Menerangi sekitar, tanpa peduli kalau itu mneyakitkan kita. Lilin ini hanya hidup semalam, lantas setelah seluruh batangnya habis,  nyalanya akan padam. Selamanya.
(Tere Liye, Sunset Bersama Rosie, halaman 148-149)
Sayangnya, di sisi lain cinta tetap punya tabiat buruknya. Cemburu, itulah yang tak pernah lepas dari cinta. Watak buruk cinta yang sulit dihilangkan.

"Aku tidak pernah merasakan bagaimana indahnya dicintai lelaki seperti kau mencintai Rosie. Entahlah apa itu menyenangkan atau menakutkan." -Sekar-
(Tere Liye, Sunset Bersama Rosie, halaman 340)

"Tahukah kau, Tegar, untuk membuat seseorang menyadari apa yang dirasakannya, justru cara terbaik melalui hal-hal menyakitkan. Misalnya kau pergi. Saat kau pergi, seseorang baru akan merasa kehilangan, dan dia mulai bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya dia rasakan." -Oma-
(Tere Liye, Sunset Bersama Rosie, halaman 410)

Kesimpulan dari novel ini:
Kita tidak akan pernah mendapatkan sesuatu jika kita terlalu menginginkannya. Kita tidak akan pernah mengerti hakikat memiliki, jika kita terlalu ingin memilikinya.