“Ini buat kamu”,
kau bilang. Entah apa yang ada dalam hatiku, aku menerimanya. Jangan tanya
bagaimana perasaanku. Mungkin lebih berbunga-bunga ketimbang Ratu Elizabeth
mengangkatku menjadi putri kerajaan Inggris.
Bibirku tak
mampu katakan apapun. Jangankan bilang terima kasih, senyum pun sulit. Aku
ingin menangis. Bukan karena seberapa mahal harganya, apalagi kau memberinya
dengan cuma-cuma. Maksudnya, bukan dalam rangka apa-apa. Bukan ulang tahunku,
bukan pula anniversary hari jadi
kita, tetapi karena aku menerimanya darimu, satu-satunya orang yang aku paling
takut untuk menyakitinya.
Saat itu kau
segalanya. Menurutku, hanya kau yang paling mengerti aku. Hanya kau yang bisa membuatku tertawa
lepas dengan tingkah-tingkahmu. Benar, aku mencintaimu. Betapa bahagianya aku
saat itu. Gadis paling beruntung karena bisa memilikimu seutuhnya.
Dompet hijau itu
masih kusimpan. Untukmu. Sebagai penghargaanku atas kesabaranmu ketika kita
masih bisa saling merengkuh. Sebagai ganti pengorbananmu yang ikhlas membiarkan
tubuhmu basah oleh hujan demi melindungiku di musim penghujan satu setengah
tahun lalu.
Ini kesekian
kalinya aku menangis untukmu. Aku tahu
kau pasti tak menyukainya. Sangat tahu. Tapi biarkan aku cengeng. Menangis
tertahan tiap kali menjinjing hati ini ke masa lalu. Berharap tak ada satu pun
yang mendengar sesenggukanku ini kecuali Tuhan dan kau.
Sampai saat ini,
tentangmu masih terbungkus rapi dalam etalase hatiku. Aku masih sering
membersihkannya. Terkadang aku khilaf, melihat dia selainmu. Tapi, jika kembali
kusendiri, tetap hanya kau yang terpikirkan. Mereka hanya selintas, kau yang
abadi.
Dompet hijau itu
layaknya kau. Takkan pernah terganti. Walau usang termakan zaman, meski kusam dibawa
usia.
Memang, aku tak
pernah bisa melepasmu. Mungkin, lebih tepatnya karena aku tak mau melepasmu.
Aku sadar dan sangat mengerti, kita sudah berbeda. Kau terlalu cepat untuk
memutuskan pergi. Meski aku tahu ini bukan maumu, tetap saja kau menyakitiku.
Aku terlalu rapuh untuk mengingat saat-saat bersamamu. Kau bernyanyi untukku
(meski hanya lewat telepon dan kau selalu malu jika kusuruh bernyanyi secara
langsung di hadapanku), kau mengejarku ketika aku jahil menggodamu, dan
sentuhanmu yang seketika membuatku luruh dalam keadaan apapun.
Hingga kakimu
tiba-tiba lemas, suaramu tak bisa kudengar dengan jelas. Semakin lemas dan
semakin tak jelas, kemudian berakhir hilang. Jauh pergi tak memedulikan aku
yang berusaha menggapaimu, menahanmu agar tetap bersamaku.
Dompet hijau
itu. Jujur, aku tak menyukai warna hijau. Aku juga tak terlalu fanatik dengan
barang yang bernama dompet. Aku lebih suka menaruh uang cukup di saku, beres!
Dan ketahuilah, sekarang, aku tak pernah bisa pergi tanpa dompet itu. Aku
berharap, ada kau di setiap sosoknya.
Aku tak tahu lagi apa yang harus kukatakan sekarang. Yang jelas, saat ini aku benar-benar kangen padamu.
Kau dengar, kan,
apa yang menjadi doa-doaku? Aku selalu ingin kau kembali meski itu mustahil.
Hingga kini kuputuskan untuk tidak merapatkan cadik ini ke sembarang dermaga.
Aku ingin mencari dermagamu lagi. Kau yang lain, atau yang lain layaknya kau.
Selamat
berbahagia. Selalu ingat aku. Aku tetap mencintaimu, tetap milikmu.
Yah.. hari ini
aku menggalau bersama perasaan-perasaan yang berterbangan lembut. Membawa
penggalan-penggalan duka ke sana ke mari, menyanyikan lagu itu sayup-sayup.
Sampai saat itu datang, aku akan tetap menjaga etalase tetangmu di hatiku.
Dear, loving
you.