Minggu, 24 Juni 2012

Tetua Penjaja Dzikir

berapa lama kau berkeliling?
jajakan jerihmu semalam suntuk
memasukkan butir demi butir bulatan imitasi
dalam senar lembut meski kau paksa

mata kuyumu menggerabak
pedas dan memerah
untuk sebuah untaian penghitung dzikir

baju kokomu bak gombal
peci putihmu sedikit mengabu
tasbih seribuan apa daya
musnah kau telan

bukan, bukan itu niatmu
kau begitu mencintai-Nya
lewat langkahmu tertatih lelah
bertuntun menderai mendekati maraja

jika senar itu putus?
masaimu menggarang
menjumput lagi dzikir berserakan
jari yang bergetar namun tegas

stasiun tua adalah saksi mati
memuseumkan memoar tilasanmu
hingga kau benar-benar membawa dzikirmu
tasbih-tasbihmu kepada-Nya

sepi, tak lagi menggelantung di langit-langit
per jengkal stasiun kini perindu
seret jepitmu, sobek celanamu
entahlah,
mungkin kau dalam kenisbian
mengarungi sayhadat, menggenggam solawat erat-erat

Minggu, 10 Juni 2012

Kotak Bermusik

roman muka yang teduh
guratan sabit barang merekah
ikhlas, berkelakar meski terbeban
semasa jalan suratanmu
peluk aku, Ibu! sekarang!

gestur wajah yang tegas
bentakan kaku mengundang patut
dalam derai keringat menganak
selama napas hembusan berada
rangkul aku, Bapak! Jangan tunda lagi!

sungguh, enggan meremahkan asa
sungguh, kepingan itu akan kusambung lagi
bunuh hitam lewat cangap
tak masalah ditertawakan

harus kudapat!
yakinlah, gadismu akan pulang
mempersembahkan kotak bermusik
mengimpaskan guguran lelah
merapatkan rapuhan niskala


(ketika kalian mengecewakan mereka, dengan berbuat sesuatu yang salah, lihat betapa wajah mereka begitu sayup, dan hati mereka begitu layu. lantas, ketika kalian membanggakan mereka, tak senangkah kalian melihat mereka tertawa lepas, terus melontarkan pujian-pujian yang berlebihan untuk kalian? ketahuilah, melihat anak-anaknya bahagia adalah hal paling penting dalam hidup ayah dan ibu kalian. hal itu yang akan memberi mereka kekuatan, semangat untuk tetap ada di antara kalian. tatap muka mereka lamat-lamat ketika mereka tidur, kemudian ingat seberapa sering kalian menyakiti mereka! bayar hutang kalian kepada mereka! cukup dengan membuat mereka menangis, mengharu biru.)

Jumat, 08 Juni 2012

Kota Hitam

terus kayuh!
semakin berat karena butut
berkarat dan semakin rapuh
subuh menusuk, berkabut gelap

terus meracau!
terik mengintip lewat ujung sayu matamu
aspal semakin mengapur
sebab lelah melihat trotoar puas menyeringai
ternyata, siang masih pekat

terus kau kayuh!
balik kelambu yang kau rindu
langit kuning telur setengah matang
muram mega sedikit berdusta
bahkan, senja ini makin berjelaga

hingga secangkir teh milik tetangga
hangat wangi melati mengundang hasrat
gegara kilat tak memberimu atas itu
malam ini mendung
tiba-tiba hujan berguntur
bak kabut nalurimu

sayang, nasibmu
memaksa turuti waktu bernapsu
bernyawa tetanggung
teracuni di kota hitam

Kamis, 07 Juni 2012

Lahambay, Lembah Takzim




Judul                : Bidadari-bidadari Surga
Pengarang        : Tere-Liye
Penerbit            : Republika
Tahun terbit      : 2008 (cetakan I), 2010 (cetakan VI)
Tebal buku       : vi + 368 halaman
Ukuran buku    : 20,5 x 13,5 cm

Ide cerita yang diangkat sangat sederhana. Tentang pengorbanan seorang kakak (Laisa) demi kesuksesan keempat adik tirinya (Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta). Juga cinta, semangat, kerja keras, dan doa kepada Tuhan mampu memberi power yang besar dalam hidup Manusia.
Tere-Liye mengemasnya dengan begitu cantik, menyentuh, dan sangat manusiawi. Deskripsinya tentang keindahan alam Lembah Lahambay yang dikelilingi batu cadas setinggi lima meter, Gunung Kendeng, sungai, hutan rimba, dan kebun strawberry nyaris sempurna. Pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri panorama-panorama tersebut di depan matanya, persis menonton sebuah film dengan alur maju-mundur yang begitu rapat.
Novel ini banyak mengandung petuah-petuah dengan makna yang dalam. Salah satunya tentang takdir Tuhan bahwa HIDUP, JODOH, REZEKI, dan MATI adalah sepenuhnya milik Allah. Segala keputusan akhir mutlak di tangan Allah. Berbagai pemahaman hidup baru akan dapat dipetik dari novel ini. Pentingnya doa, cinta, semangat, pantang menyerah, dan kerja keras.
Kak Laisa, seorang teladan dalam keluarga yang sudah terbiasa bekerja keras setelah babak (ayah)-nya meninggal karena diterkam harimau Gunung Kendeng.  Dengan keterbatasan fisiknya, tubuh pendek, hitam, rambut gimbal, dan gemuk serta dempal, ia mampu menghidupi segenap keluarganya.
Ya, dia mungkin tidak memiliki kecantikan fisik yang didambakan oleh setiap lelaki, tetapi ia memiliki kecantikan hati yang luar biasa yang seharusnya lebih dibutuhkan oleh setiap lelaki di bumi ini. Bagaimana tidak, Kak Lais dengan ikhlas meminta kepada mamak (ibu)-nya untuk berhenti sekolah saat kelas 4 SD, demi keempat adik tirinya tetap bersekolah.
Berkat perjuangan Kak Lais yang luar biasa, Dalimunte (adik pertama Laisa), seorang anak lembah terpencil di pinggir hutan berhasil menjadi profesor di bidang fisika level dunia, dengan penelitian terbarunya tentang “Badai Elektromagnetik Antar Galaksi” yang akan menghantam planet ini sebelum kiamat. Ikanuri dan Wibisana, dua lelaki kembar tapi beda yang juga merupakan adik dari Dali, berhasil mendirikan bengkel mobil modifikasi dan akan membangun pabrik spare-part mobil sport, dan Yashinta si bungsu yang mendapat beasiswa S2 ke Belanda dan menjadi peneliti untuk konservasi ekologi, meneliti tentang burung Peregrin atau Alap-alap Kawah dan sejenisnya, serta menjadi kontributor foto untuk majalah National Geographic.
Kak Lais, yang hingga usianya 40 tahun lebih sudah beberapa kali gagal menikah, selalu ikhlas dan berhati lapang untuk dilangkahi adiknya yang lebih dulu mendapatkan jodoh. Prinsip Kak Lais “bahwa Allah telah mengirimkan keluarga terbaik dalam hidupku, dan itu sudah cukup. Aku menerima takdir Tuhanku dengan lapang dada,” membuat air mata tak tertahankan untuk menyeruak keluar.
            Hingga hari kematian Kak Lais tiba. Kanker paru-paru stadium IV yang telah disembunyikan dari adik-adiknya selama sepuluh tahun tak dapat ditahannya lagi. Penyakit yang dipendamnya selama ini lah yang memutuskan dan menjadi puncak perjuangannya dalam hidupnya. Sekaligus menjadi jembatannya menuju kehidupan kekal.
Dalam novel ini, Tere Liye, pria kelahiran 21 Mei 1979 itu juga mengangkat beberapa hadits yang dikaitkan dengan kisah Kak Lais. Membuktikan bahwa kisah ini tidak seringan kapas. Hadits yang menguatkan Kak Lais sebagai salah satu dari bidadari-bidadari surga. Demikian bunyinya:
“Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (QS Al-Waqiah: 22),
Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah.
Mereka baik lagi cantik jelita (QS Ar-Rahman: 70),
Bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (QS Ash Shaffat: 49)”
Dalam epilog novel ini, Tere-Liye menulis:
"Dengarkanlah kabar gembira ini. Wahai wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah), yakinlah, wanita-wanita shalehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur, kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar. Bidadari surga parasnya cantik luar biasa."
Hal lain yang menarik adalah pada beberapa kalimat awal dalam bab 39 (halaman 309) dan bab 44 (halaman 353).
"Terus terang, mengungkit masa lalu Laisa bukanlah bagian yang menyenangkan. Tetapi tidak adil jika kalian tidak tahu ceritanya. Apalagi untuk mengerti utuh semua kisah ini. Mengerti betapa Kak Laisa tulus melakukan semuanya. Maka, dengan melanggar janjiku kepada keluarga mereka, ijinkanlah aku menceritakannya."
Kemudian di bab 44, sebanyak dua halaman, pengarang menulis tentang perannya dalam cerita ini. Tere-Liye seakan menjadi saksi atas peristiwa dalam keluarga Lembah Lahambay. Dia juga salah satu penerima SMS mamak (selain keempat anak mamak) yang mengabarkan tentang kondisi Laisa menjelang kepergiannya.
Novel ini sangat layak diapresiasi! Di tengah situasi negara yang sudah bobrok dan krisis moral, Tere-Liye dengan cerdas dan menyentuh mampu mengangkat kisah yang sepela namun dapat dijadikan guru paling bijak dalam hidup paembaa. Apalagi jika kisah dibaca oleh ribuan bahkan jutaan pasang mata, maka suatu saat hikmah dalam novel ini akan memberi perubahan besar bagi Indonesia.

Jumat, 01 Juni 2012

Sepotong Surat

Lama aku ingin membuktikan bahwa kau pecundang. Ternyata semua itu keliru. Kesipulanku salah. Aku terlalu bodoh menafsirkan kata-katamu. Mas, sebentar lagi aku akan menerbitkan kumpulan puisiku. Judulnya bagus. Terima kasih atas inspirasi dari bau badanmu yang tetap wangi meski kau tak pernah memakai parfum. Aku juga terkesan kehalusan kakimu meski tak pernah kau lidungi dengan kaos kaki. Setujukah bila puisiku kuberi judul: Laki-laki Tanpa Parfum dan Kaos Kaki? Aku senang bersahabat denganmu. Tak lebih dari itu, karena aku tahu isterimu pencemburu.


Jujur aku mengagumimu dan selalu. Ada bentuk kepribadian lain yang kutemukan padamu. Dan itu sulit kujelaskan dengan kata-kata. Aku hanya bisa merasakan. Jika pun kekagumanku itu kuteruskan untuk memilikimu kemungkinan yang akan terjadi mudah kutebak. Aku terima kasih banyak.

Ada peristiwa paling kusukai sepanjang hidupku saat kau menciumku waktu gerimis kita menunggu kedatangan bus kota. Kemudian tanpa rencana kita berdua terdampar semalam di hotel pinggiran kota. Kau hebat, Mas. Kita tidur bersama sebatas kawan tempat berbagi pengalaman. Berkali-kali aku minta, kau tetap tersenyum bahwa semua itu hanyalah bentuk pelampiasan sesaat yang tidak baik bagi pikiran dan perasaan. Dampaknya lebih panjang ketimbang proses itu sendiri.

Aku sangat menghormatimu sebagaimana penghormatanku pada ayah dan suamiku walau kau tak sebrengsek mereka. Selamat malam. Tidurlah semoga hari-harimu esok lebih baik. Ati-ati, jaga diri baik-baik.


(Cak Sariban, "Wanita Tanpa Tisu, Laki-laki Tanpa Kaos Kaki: 91-93)