Selasa, 29 Mei 2012

Sajak Keseribu


Sejak purnama
Ringan menguntai aksara
Menata perasaan durja
Murung, berabu, dan berjelaga

Kembaranmu, Purnama!
Keras kepala!
Merajuk dan meminta
Membangunkan suhu sedang bertapa

Cerminanmu, Purnama!
Menuangkan kepingan-kepingan bahasa
Menuntun entah ke mana
Berkeliling, dalam balutan asa

Purnama, kumohon menyabitlah!
Sering kali kau tak mau dengar!
Relakan sempurnamu
Kutuliskan, ini sajak keseribu

Minggu, 20 Mei 2012

Ambang Batas yang Berbeda Tipis


Abang, aku melihatmu dalam bayangan cermin. Ya, tiba-tiba saja kau muncul. Di belakangku, siluet tipis yang menajam, semakin tajam, hingga terwujudlah sosokmu. Aku kaget setengah mati! Hendakku percaya ilusi itu, tapi takut-takut jikalau harapku tak bisa kuyakini.

Entahlah, Bang. Aku enggan menoleh ke belakang. Aku lebih senang melihatmu dari cermin ini. Sambil kusisir pelan rambut panjangku (yang sedikit) dan menjuntai ke depan. Sebenarnya, aku ingin bertanya satu hal; apa yang kau lakukan di situ, Bang? Sayangnya kerongkonganku tercekat. Bukan apa-apa, aku lebih nyaman, lebih betah memandangmu. Hanya memandangmu. Menyusur setiap detail yang ada padamu. Gestur wajahmu, lekuk tubuhmu, dan mili demi mili gerakmu.

Ah, Abang! Sesekali kau tersenyum. Tentu saja padaku, bukan? Bodoh saja jika kau tersenyum pada cermin di depanku. Bagaimana tidak? Di kamar ini hanya ada kita berdua. Kau dan aku.

Lantas kubalas dengan senyum pula. Sejujurnya, Bang, aku tahu aku hanya berkhayal. Tapi, aku masih tak habis pikir, kenapa aku berkhayal tentang kau. Bukan tentang yang lain. Apa karena aku merindukanmu yang tega pergi tanpa pamit?

Bang, kau lihat? Rambutku merontok. Semakin sering kusisir, semakin banyak yang jatuh. Astaga, Bang! Kau kenapa menangis? Kau tak tega melihat aku yang pucat? Percayalah, Bang. Istrimu ini tidak sedang kesakitan. Bukankah obatnya sudah di depan mata?

Kau mau mengajakku ke mana, Bang? Kenapa tiba-tiba kau menjulurkan tanganmu? Apa? Kau sungguh menyentuhku? Berarti ini nyata? Baiklah, Bang! Aku ikut kemana pun kau mengajakku. Tunggu sebentar, kurapikan dulu rambutku. Agar aku terlihat sedikit lebih cantik. Tak ada salahnya kan aku membuatmu betah untuk memandangku? Ayuk, Bang. Kita pergi berdua.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tunggu, Bang! Bukankah itu aku? Iya, yang terbaring di ranjang itu. Bukankah itu anak kita? Kenapa dia menangis di atas tubuhku, Bang? Ibu, ibu mertua, ayah? Semua menangis? Jangan kau diam saja! Jelaskan padaku, ada apa, Bang?

Suster? Loh,  kenapa mukaku ditutup kain putih? Bang, jawab! Tega sekali kau membuat istrimu ini bertanya terus! Mau dibawa ke mana tubuhku? Lalu?

Baiklah, aku mengerti sekarang. Jadi, kau mengajakku meninggalkan mereka? Iya, Bang. Mari kita pergi. Gandeng aku, Bang.

Jumat, 18 Mei 2012

Malam Bangsat

Jangkrik malas bercerita
Malam buta dingin menusuk
Ranting tertidur, daun mendengkur
Mendelik berat, terpejam pedas

Akhir-akhir ini malam bertabiat bangsat!
Katak tak mau membuka telinga
Debu bisu terbawa angin

Gelap memang bangsat!
Saraf-saraf mulai bermain
Bergelanggang dengan sabit
Memaksa, membangunkannya menjadi purnama

Pekat begitu bangsat!
Merujuk nestapa menyempurna
Kerling lintang berasa canggung
Terang-terang, remang-remang

Sangat bangsat!
Lancar melontar tempelak
Kejam menghujam
Tembus, berlubang
Dua bola kembar seketika berair

Senin, 14 Mei 2012

Riwayat Lembah Lawu


Biar, sejenak kubawa jiwaku ke lembah itu
dingin membeku, bersemilir syahdu
Biar, sejenak kumanjakan perasaanku
mengenang, tiada berharga selain dirimu

Di lembah itu, aku merintih
di lembah itu, jantungku memerih
Kupaksakan mematah rasa
kutekadkan mengamnesiakan kepala

Asal kalian tahu,
itulah riwayat lembah Lawu
yang menyaksikan pengecut baru
sedang memekik, sesenggukan pilu

Itulah riwayat lembah Lawu
tempatku merasakan hujaman peluru
ranahku menganggap tangis tak lagi tabu
ruang sang karma mengabolisikan diriku

Kurasakan dilema hati sedalam mungkin
meski tak ada enak-enaknya,
tetap saja, itu adalah akhir sebuah labirin

Jumat, 04 Mei 2012

Aku Sayang Bunda, Sayang Ayah


Yudha membuka album itu. Remaja 17 tahun itu sedikit risih dengan kotoran yang menempel di permukaan album. Banyak debu, kotor,  usang. Maklum, sudah bertahun-tahun album itu tertumpuk di gudang. Terdapat foto sebuah keluarga kecil dengan bebagai pose di dalamnya. Terdiri dari ibu muda. Ibu muda yang cantik, melebarkan senyumnya. Terlihat barisan giginya yang rapi. Di tengah, ada bayi kecil satu tahunan. Mata lebar. Pipi tembam dengan lesung manis. Bahagia sekali keluarga itu.

Yudha membuka pelan, mengamati lembar demi lembar album itu. Semakin ke halaman belakang, dahinya semakin mengernyit. Masalahnya, ia tidak mengenal satu sosok lain selain ibunya dan bayi kecil dalam album itu. Ya, sosok yang asing menurutnya. Laki-laki tinggi berkulit sawo matang yang duduk di sampingnya dalam foto itu. Matanya terang, kebapakan. Raut mukanya tampan, nyaris mirip dengan bayi kecil di sampingnya.

“Yudha, sudah ketemu, nak sketsa gambarmu?” bunda membuka pintu gudang, mencari putranya.
“Eh, belum, Bun. Susah nyarinya!” tak menoleh, masih tetap mengamati takzim gambar-gambar dalam album. “Bun, ini bunda, kan? Dan ini aku. Lantas, siapa laki-laki ini? Ayah?” masih tetap tak mengubah arah pandangnya dari album.

Bundanya diam. Sama sekali tidak ada jawaban. Sepersekian detik, tetap tak ada suara. Yudha menoleh, bundanya sudah teduduk di atas kursi bekas yang ikut memenuhi gudang itu. Terpaku, bulir air mata tak kuasa mengintip dan jatuh dari mata sendu bunda.

Tentu Yudha kebingungan. Ia takut ada yang salah dengan perkataannya tadi. Memang, Yudha selalu takut menyakiti hati bundanya. Ia terlalu menyayangi perempuan yang hidup bersamanya 17 tahun ini. Disentuhnya lutut bunda, menunduk, berlutut, isyarat permintaan maaf.

“Iya, dia  Ayahmu,” kata bunda tiba-tiba.
“Maaf, Bunda. Kenapa selama ini Bunda tak pernah mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku tentang ayah? Bunda selalu bilang ayah baik-baik saja di suatu tempat. Tapi, Bunda tak pernah mau mengatakan tempat itu di mana. Seakan Bunda merahasiakan siapa ayah dariku,” Hening. “Aku ini anak ayah, Bunda,” nyaris berbisik. Yudha mendongak, menatap mata bundanya.
“Ayah sudah siap?”
“Siap tidak siap harus siap, Bun. Demi anak kita,” ayah tersenyum menenangkan kecemasan bunda. Di elusnya pelan perut bunda yang buncit besar.
“Sudahlah, Yah. Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Aku memang tak pernah bisa membahagiakanmu.”
“Sssttt... Kau selalu membuatku bahagia. Kau pikir selama ini aku menikahimu karena apa? Tentu, karena tak akan ada wanita lain yang bisa kucintai sepertimu,” menyolek pipi bunda.
Bunda tersenyum. Betapa ia mencintai laki-laki di hadapannya itu.
“Tapi bagaimana dengan Ayah?”
“bagaiman apanya? Aku bukan pengecut. Aku masih bisa hidup dengan satu ginjal ini, sayang.”

Dan benar. Dua hari kemudian tubuh terbaring ayah sudah digelendeng penuh belalai menuju ruang operasi. Disusul sesosok tua yang mungkin sekarat. Sama halnya dengan ayah. Tubuhnya penuh belalai medis. Sesekali ia kejang-kejang, seakan tak sabar menunggu ginjal baru memperpanjang usianya.
“Ketika kau berumur satu tahun, ayahmu tega meninggalkan kita. Terlalu cepat Tuhan mengambilnya,” tangis bunda memecah sepinya gudang.
“Ka-re-na a-pa, Bun?” tanya Yudha hati-hati.
“Karena kebandelan ayahmu sendiri. Waktu itu ayah bohong sama bunda. Ayah bilang kalau kedua ginjalnya berfungsi baik. Tak masalah jika salah satu harus didonorkan pada kakek itu yang keluarganya berjanji membiayai semua operasi kelahiranmu. Bukan operasi persalinan biasa. Rahim bunda bermasalah. Dokter sudah bilang atas resiko kehamilan itu sebelumnya. Tapi bunda tak ingin mengecewakan ayah. Bunda memaksa mengandung. Bunda ingin menjadi wanita sempurna, Yudha. Yang bisa melahirkan kau.”
Yudha terdiam. Sesekali mengusap ujung matanya yang berair. Bagaimana tidak? Cerita bunda benar-benar menohok hatinya. Kenyataan ini seperti petir tanpa hujan yang menyambar pohon di siang bolong.
“Ternyata setelah ayahmu pergi, baru semua terbongkar. Dokter bilang memang ginjal yang tertinggal di tubuh ayah sudah rusak. Bahkan, sisa waktu ayah yang setahun itu termasuk keajaiban. Seketika bunda marah. Bunda berteriak. Ingin rasanya mengganti nyawa ayah dengan nyawa dokter itu. Entahlah, kala itu dokter lah yang paling bersalah menurut bunda!” suara bunda meninggi.
“Jadi, aku hidup dengan nyawa ayah, Bun?”
“Tidak, sayang. Kau tak tahu apa-apa tentang ini. Kau hanya korban. Ini terjadi atas keegoisan ayah dan bundamu. Itulah kenapa bunda merahasiakan semua ini. Bunda tak ingin kau merasakan apa yang bunda rasakan. Sakit, rindu dengan ayahmu, ingin berteriak, apapun itu, yang jelas sangat tidak enak. Maafkan kami, Nak,” anak dan ibu itu saling memeluk. Menangis bersama.
“Aku sayang sama bunda, sama ayah. Aku yakin, sekarang kita bertiga tak bersama di sini, Bunda. Tapi kita akan berkumpul nanti, di waktu yang tepat dan tempat yang lebih baik.”
Bunda mengangguk mengerti. Tersenyum. Betapa ia bangga dengan putranya. Berjiwa besar, mengerti apa arti sebuah pengorbanan.

Menurutmu, Apa Judulnya?


Berkali-kali aku melihat jam tangan. Di sebuah kafe yang sudah kita sepakati, aku menunggumu. Di luar hujan. Aku mengetahui itu dari dinding kaca kafe yang berembun.

Saat itu pertama kali kita bertemu setelah sebulan lalu kau meminta nomor handphoneku pada teman dekatmu, yang juga temanku. Awalnya aku risih. Bagaimana tidak? Kau mengajak kenalan dengan cara yang tidak mutu menurutku. Kau SMS hampir setiap jam, missed call berkali-kali, dan setiap kutanya siapa kau dan ada perlu apa, kau tak pernah menjawabnya. Hingga kau akhirnya menyerah ketika panggilan dan SMS-mu sama sekali tak kuindahkan. Jangan kau pikir aku seperti gadis-gadis SMA lain yang menanggapi dengan sms, diteruskan pendekatan, lantas jadian. Tidak! Itu norak.
“Elsa?” sebuah suara tiba-tiba mengagetkan lamunanku. Seorang laki-laki sepantaranku dengan baju dan rambut basah telah berdiri di hadapanku.
“Eh, iya aku Elsa. Ivan?” sahutku. Kuulurkan tanganku, mengajakmu bersalaman. Tanganmu dingin, bibirmu juga membiru. Aku tahu kau kedinginan. Tak tega. Kulepas jaket kuningku. “Nih, pakai!” kataku ketus sambil mengulurkan jaket.
“Thanks,” kau bilang sambil tersenyum canggung.
Entah mengapa obrolan malam itu mengalir begitu saja. Kau selalu bisa membuatku tertarik dengan topik pembicaraan yang kau pilih. Sejak awal, aku suka nada bicaramu, aku suka wangimu meski sudah sedikit samar karena basah. Aku juga nyaman berada di dekatmu. Sampai aku tak merasakan dinginnya hujan malam itu.

Sejak pertemuan pertama itu aku tak pernah bisa tidur. Aku selalu menunggu handphoneku berdering. Berharap itu SMS darimu yang rutin mengucapkan “selamat tidur, gadisku. Aku tak berharap kau memimpikan aku. Aku hanya ingin kau tidur dengan perasaanmu yang selalu bersamaku. Ivanmu.” Aku senang dengan perhatianmu.

Seminggu kemudian, kau mengajakku ke toko buku. Entah itu hanya modusmu atau kau memang sedang memerlukan sebuah buku, yang jelas akulah gadis paling bodoh jika bilang “tidak” untuk ajakan kencan kedua ini.

“Aku sudah di depan,” SMS-mu. Kau datang menjemputku tepat pukul tujuh malam. Aku bergegas, seakan tak ingin kau menungguku terlalu lama. Ya, kalau kalian tahu, itulah penampilan paling rapiku selama ini. Kusaut helm, lalu berlari kecil menuju halaman.

Astagaaa, apa yang terjadi? Kau menjemputku dengan sepeda! Tuhaan, baru kali ini.
“Untuk apa bawa helm? Maaf, aku cuma punya ini,” kau tersenyum, mengarahkan bola matamu ke setir sepeda.
“Oh, iya deh. Sebentar, aku masukin helm dulu, ya?”
“Oke.”
Tak lama, aku kembali. Ini kencan pertamaku dengan sepeda. Kau memboncengku di belakang. Awalnya aku agak mengkal, tak nyaman. Tapi kau masih sama ketika kita pertama bertemu seminggu yang lalu. Kau banyak bicara, dan selalu asik. Aku mulai mengikuti permainanmu. Mengoceh sepanjang jalan, ramai di toko buku sampai ibu-ibu marah dengan kegaduhan kita. Yah, justru malam itu berakhir menyenangkan.

Hingga beberapa kali kau mengajakku jalan. Selalu dengan sepeda itu. Aku mulai terbiasa. Aku mulai menyukai berkencan dengan sepeda. Iya, aku sangat suka. Sampai akhirnya, kita jadian. Memang terlalu cepat. Tapi aku tahu kau menyayangiku. Pun demikian dengan aku. Aku mencintaimu.

Sayang, kau memutuskan mati sebelum waktunya. Kau menyayat pergelangan tanganmu dengan silet. Entah apa yang menjadi alasanmu. Kau ditemukan terkapar dalam kamar mandi. Tak bernyawa, pergi. Aku amat terpukul. Bahkan, bisa dibilang aku sedikit stres.

Bisa kalian bayangkan? Aku mendadak suka naik sepeda kemana pun. Aku suka ngomong sendiri di jalan ketika bersepeda. Curhat pada udara tentangmu. Aku percaya ia takkan ember. Aku bilang sedang rindu padamu, aku selalu suka wangimu, aku suka semua tentangmu.
“Sedang apa kau?”
“Oh, ini. Sedang ngarang aja! Nggak ada kerjaan dan tiba-tiba inspirasiku mati. Jadi, aku nggak nemuin ending yang bagus.”
“Teruskan saja nanti kalau sudah ada inspirasi.”
(Ini ceritanya curhat, gagal bikin cerpen! L Sekali-kali cerpen gagal dipost. J)