Yudha membuka album
itu. Remaja 17 tahun itu sedikit risih dengan kotoran yang menempel di
permukaan album. Banyak debu, kotor,
usang. Maklum, sudah bertahun-tahun album itu tertumpuk di gudang.
Terdapat foto sebuah keluarga kecil dengan bebagai pose di dalamnya. Terdiri
dari ibu muda. Ibu muda yang cantik, melebarkan senyumnya. Terlihat barisan
giginya yang rapi. Di tengah, ada bayi kecil satu tahunan. Mata lebar. Pipi
tembam dengan lesung manis. Bahagia sekali keluarga itu.
Yudha membuka pelan,
mengamati lembar demi lembar album itu. Semakin ke halaman belakang, dahinya
semakin mengernyit. Masalahnya, ia tidak mengenal satu sosok lain selain ibunya
dan bayi kecil dalam album itu. Ya, sosok yang asing menurutnya. Laki-laki
tinggi berkulit sawo matang yang duduk di sampingnya dalam foto itu. Matanya
terang, kebapakan. Raut mukanya tampan, nyaris mirip dengan bayi kecil di
sampingnya.
“Yudha, sudah ketemu,
nak sketsa gambarmu?” bunda membuka pintu gudang, mencari putranya.
“Eh, belum, Bun. Susah
nyarinya!” tak menoleh, masih tetap mengamati takzim gambar-gambar dalam album.
“Bun, ini bunda, kan? Dan ini aku. Lantas, siapa laki-laki ini? Ayah?” masih
tetap tak mengubah arah pandangnya dari album.
Bundanya diam. Sama sekali
tidak ada jawaban. Sepersekian detik, tetap tak ada suara. Yudha menoleh,
bundanya sudah teduduk di atas kursi bekas yang ikut memenuhi gudang itu.
Terpaku, bulir air mata tak kuasa mengintip dan jatuh dari mata sendu bunda.
Tentu Yudha
kebingungan. Ia takut ada yang salah dengan perkataannya tadi. Memang, Yudha
selalu takut menyakiti hati bundanya. Ia terlalu menyayangi perempuan yang
hidup bersamanya 17 tahun ini. Disentuhnya lutut bunda, menunduk, berlutut,
isyarat permintaan maaf.
“Iya, dia Ayahmu,” kata bunda tiba-tiba.
“Maaf,
Bunda. Kenapa selama ini Bunda tak pernah mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku
tentang ayah? Bunda selalu bilang ayah baik-baik saja di suatu tempat. Tapi,
Bunda tak pernah mau mengatakan tempat itu di mana. Seakan Bunda merahasiakan
siapa ayah dariku,” Hening. “Aku ini anak ayah, Bunda,” nyaris berbisik. Yudha
mendongak, menatap mata bundanya.
“Ayah sudah siap?”
“Siap tidak siap harus
siap, Bun. Demi anak kita,” ayah tersenyum menenangkan kecemasan bunda. Di
elusnya pelan perut bunda yang buncit besar.
“Sudahlah, Yah. Aku
sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Aku memang tak pernah bisa
membahagiakanmu.”
“Sssttt... Kau selalu
membuatku bahagia. Kau pikir selama ini aku menikahimu karena apa? Tentu, karena
tak akan ada wanita lain yang bisa kucintai sepertimu,” menyolek pipi bunda.
Bunda tersenyum. Betapa
ia mencintai laki-laki di hadapannya itu.
“Tapi bagaimana dengan
Ayah?”
“bagaiman apanya? Aku
bukan pengecut. Aku masih bisa hidup dengan satu ginjal ini, sayang.”
Dan
benar. Dua hari kemudian tubuh terbaring ayah sudah digelendeng penuh belalai
menuju ruang operasi. Disusul sesosok tua yang mungkin sekarat. Sama halnya
dengan ayah. Tubuhnya penuh belalai medis. Sesekali ia kejang-kejang, seakan
tak sabar menunggu ginjal baru memperpanjang usianya.
“Ketika kau berumur
satu tahun, ayahmu tega meninggalkan kita. Terlalu cepat Tuhan mengambilnya,”
tangis bunda memecah sepinya gudang.
“Ka-re-na a-pa, Bun?”
tanya Yudha hati-hati.
“Karena kebandelan
ayahmu sendiri. Waktu itu ayah bohong sama bunda. Ayah bilang kalau kedua
ginjalnya berfungsi baik. Tak masalah jika salah satu harus didonorkan pada
kakek itu yang keluarganya berjanji membiayai semua operasi kelahiranmu. Bukan
operasi persalinan biasa. Rahim bunda bermasalah. Dokter sudah bilang atas
resiko kehamilan itu sebelumnya. Tapi bunda tak ingin mengecewakan ayah. Bunda
memaksa mengandung. Bunda ingin menjadi wanita sempurna, Yudha. Yang bisa
melahirkan kau.”
Yudha terdiam. Sesekali
mengusap ujung matanya yang berair. Bagaimana tidak? Cerita bunda benar-benar
menohok hatinya. Kenyataan ini seperti petir tanpa hujan yang menyambar pohon
di siang bolong.
“Ternyata setelah
ayahmu pergi, baru semua terbongkar. Dokter bilang memang ginjal yang
tertinggal di tubuh ayah sudah rusak. Bahkan, sisa waktu ayah yang setahun itu
termasuk keajaiban. Seketika bunda marah. Bunda berteriak. Ingin rasanya
mengganti nyawa ayah dengan nyawa dokter itu. Entahlah, kala itu dokter lah
yang paling bersalah menurut bunda!” suara bunda meninggi.
“Jadi, aku hidup dengan
nyawa ayah, Bun?”
“Tidak, sayang. Kau tak
tahu apa-apa tentang ini. Kau hanya korban. Ini terjadi atas keegoisan ayah dan
bundamu. Itulah kenapa bunda merahasiakan semua ini. Bunda tak ingin kau
merasakan apa yang bunda rasakan. Sakit, rindu dengan ayahmu, ingin berteriak,
apapun itu, yang jelas sangat tidak enak. Maafkan kami, Nak,” anak dan ibu itu
saling memeluk. Menangis bersama.
“Aku sayang sama bunda,
sama ayah. Aku yakin, sekarang kita bertiga tak bersama di sini, Bunda. Tapi
kita akan berkumpul nanti, di waktu yang tepat dan tempat yang lebih baik.”
Bunda mengangguk
mengerti. Tersenyum. Betapa ia bangga dengan putranya. Berjiwa besar, mengerti
apa arti sebuah pengorbanan.