Selasa, 19 Maret 2013

Gelas Beling #Bagian2

"Selamat malam, Nak. Kau hendak tidur? Sebagai pengantarmu, boleh aku bercerita sedikit?"

Sosok penjagaku tiba-tiba muncul. Entah dari mana asalnya. Aku yang semula sibuk menyisir rambutku di depan cermin, tanpa sadar mengiyakan pertanyaannya. Aku menuju ranjang, duduk manis, tanpa sepatah katapun bersiap mendengar ceritnya.

"Nak, kulihat kau hari ini sedikit murung. Ada apa gerangan? Ada yang membuatmu tak enak hati? Tanpa kau harus menjawabnya, aku mengerti, Nak.

Begini, Nak. Kau tahu gelas beling? Nah, cobalah sekali-kali kau bereksperimen dengannya. Letakkan ia di tempat terbuka, selasar rumah, lapangan, pekarangan, atau di manapun. Biarkan ia tinggal di sana untuk beberapa hari. Siang, ia akan dibakar terik yang luar biasa panas. Lalu malamnya, jutaan bulir hujan menghunjami tubuhnya. Sehari demikian, tak ada yang berubah dari tubuhnya. Dua hari, tak masalah. Tiga hari, ya, dia masih bertahan. Empat hari, mulai tampak garis-garis retakan itu. Lima hari, garisnya makin banyak, dan kau tahu apa yang terjadi pada hari ke-enam? Tubuhnya sempurna terbelah menjadi dua. Pecah.

Serapuh itulah manusia, Nak. Terserah kau menganalogikannya seperti apa. Tapi, ketahuilah, kerapuhan itu tidak bernilai mutlak. Sewaktu-waktu bisa menguat, namun bukan mustahil untuk justru menjadi semakin rapuh. Bahkan serapuh tisu yang tersiram kopi.

Tugasmu, Nak, menguatkan! Dengan caramu sendiri tentunya. Selamat tidur, Nak... "

Ketika kubuka mataku, sudah subuh. Sosok penjagaku? Entah...

Jumat, 15 Maret 2013

Maka Hatimu Akan Menjadi Lebih Baik #Bagian1

Entah siapa, aku sedang merasa bersama seseorang. Ia tak pernah pergi, selalu mendampingiku. Napas dan bisikannya seakan senantiasa berada di belakang kedua telingaku. Perempuan atau laki-laki, aku tak tahu. Yang jelas, dia selalu mendongeng, bercerita panjang lebar dalam apapun yang aku lakukan. Tentang petuah-petuah yang membatasi tingkah lakuku. Juga menumbuhkan banyak pemamahaman baru yang baik dalam pikiranku. --Meskipun, terkadang aku mengabaikannya--.

Tapi, akhir-akhir ini aku mulai tahu bagaimana caranya berdialog dengannya. Aku mulai bisa mengajak bicara sosok tak berwujud itu. Ketika aku menanyai siapa namanya, ia menjawab; "Penjagamu, Nak." Lalu sosok itu mulai bercerita:

"Sebab-akibat itu berlaku mutlak dalam hidup. Maka teruslah berlaku baik, tulus.

Ketika ada yang menyakitimu, kala itulah kekuatan hatimu sedang diuji. Selentur apa hatimu untuk tidak robek dihujami duri, dihantam batu. Teguhkan hatimu, Nak. Kesakitan yang lebih perih, lebih parah akan kaudapat ketika kamu balas menyakiti yang menyakitimu. Memang tidak mudah, tapi bukan berarti sulit. Kau bisa! Cobalah, Nak!

Ketika kau disuruh memilih, kala itulah pengorbananmu diuji. Seberani apa kau akan meletakkan kebahagiaanmu demi orang lain. Seberapa bijak pikiranmu dalam memilih sebuah "nasib". Tapi, Nak, tak selamanya kau harus bersakit-sakit demi orang lain. Ada saatnya kesenanganmu harus lebih kau prioritaskan. Itu tidak salah, Nak. Asal sesuai porsi dan tidak berlebihan.

Ketika segala yang kau inginkan terwujud, sesungguhnya saat itulah bitiniahmu sedang sedang mengalami titik kulminasi pengujian. Kau harus menempatkan apa yang kau punya sesuai pada tempatnya. Jangan salah, Nak, semakin banyak sesuatu yang kau miliki, semakin banyak yang sirik, yang hendak mengganggu dan merusak. Maka kau harus pandai-pandai membentengi dan memagari apapun yang telah menjadi hakmu dari tangan-tangan jahil.

Sebaliknya, ketika apa yang kau cita-citakan tak kunjung terwujud, jangan kau berburuk sangka kepada siapapun. Haram bagimu menyalahkan siapapun. Tak ada yang salah dalam kegagalanmu, kecuali kesalahan dan kecerobohan dirimu sendiri. Namun, jika kau merasa usahamu sudah cukup besar, gigih, namun tetap saja sulit mencapai misimu, itu berarti ada takdir lain yang lebih diperuntukkan untukmu.

Jadi, Nak, berusahalah untuk selalu hidup dalam garis halal Tuhan. Dan yakinlah! Tuhan sungguh mencintaimu. Sangat menyayangimu.."

Aku tertegun, masih serius mendengarkan..

(Bersambung...)

Jumat, 08 Maret 2013

Selembar Gerimis dalam Buku Malam

Terkungkung rindu. Tebal kabut kian membeku. Ada, pasti ada. Kondisi ini diciptakan Tuhan dengan sengaja. Bayangan mendekam kaku, memeluk lutut. Ada yang ganjil! Si Buta melihat Si Bisu sedang tidur. Si Bisu mengigau, mengucap serapah untuk Si Buta. Kerongkongan beku tercekat!
 
Di sudut pekat, malam membuka lembar demi lembar bukunya. Terus, hingga sampai pada sebuah halaman. Namanya "lembar gerimis". Lembar itu yang paling basah ketimbang lembar yang lain. Tinta yang menyetubuh dengan kertasnya pun kedinginan, lalu luntur. Malam heran tak terkira.

Tak ingin lembar yang lain ikut basah, malam merobek lembar gerimis. Padahal, lembar gerimis layaknya jantung buku itu. Bayangkan! Jantung yang dilepas paksa dari tubuhnya, bagaimana rasanya? Tapi, lembar gerimis tak menangis, bersedih, atau mendendam. Meski berdarah-darah, ia tak ingin tubuhnya semakin basah.

Itulah sebabnya, mengapa Si Bisu menyumpahi Si Buta. Siapa yang tahu kalau malam yang merobek lembar gerimis, ternyata bukanlah malam yang sesungguhnya. Ia adalah jelmaan dingin yang bertabiat iblis. Si Buta tak bisa menjaga buku malam dengan baik ketika Si Bisu lengah sebentar. Ia terlalu mudah terkecoh dengan muslihat dingin.

Yah, dan Si Bisu dan Si Buta, yang dipercaya malam untuk menjaga bukunya, telah menyihir dingin menjadi beku yang tercekat! Dan mereka sendiri? Menunggu sanksi dari malam yang masih tertidur pulas. Bertanggungjawab atas kelalaian mereka. Menungu yang tak berbatas waktu. Karena, entah kapan malam akan bangun dari tidur panjangnya.