Senin, 07 Desember 2015

Maka, Kumohon Datanglah..

Aku rindu hujan...
Tanah dan atap-atap rumah yang basah kecokelatan. Aroma yang sempurna untuk mengingat. Dingin yang pas untuk memeluk lutut. Bertopang dagu, memejamkan mata menatap yang tak mampu dilihat dengan mata. Tentu saja akan datang yang lebih ramai dibandingkan suara gemercik air dari langit.

Aku rindu hujan...
Suara dan kilatan petir yang keras. Menyentak apapun yang sebelumnya tenang. Lebih baik mengurung diri di balik selimut, menutup telinga. Lalu akan terdengar yang lebih berisik dibandingkan halilintar yang bersahutan kala badai.

Aku rindu kau..
Semakin sempurna rinduku karena malam dan hujan. Sendirian, aku kau buat ramai gaduh. Kesepian, aku kau buat berdesakan di antara kenangan dan harapan. Begitulah jika aku tanpa kau. Aku butuh nyaman, aku butuh hangat. Maka, kumohon datanglah. Peluk aku di antara kedua lenganmu dan tenangkan aku dengan satu dua kecupan bibirmu di keningku..

Selasa, 24 November 2015

Apa Namanya?


Apa namanya? Ketika kamu benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan seseorang. Ketika semua yang kamu lihat, kamu sentuh, dan kamu rasakan menjelma menjadi dia. Entah itu hanya halusinasimu, atau memang dia benar-benar sudah menjalari seluruh indera dalam tubuhmu.

Apa namanya? Ketika kamu benar-benar mencemaskan seseorang. Ketika kamu sangat takut hal buruk terjadi padanya. Ketika kamu selalu mengkhawatirkan keadaannya. Ketika kamu begitu ingin selalu di dekatnya, menghalau segala luka dan duka yang hendak menyambanginya sejauh yang kamu bisa. Bahkan, jika tubuh dan rasamu pun harus ikut terluka, mungkin bagimu itu tidak seberapa jika dibanding dia yang harus menanggung duka.

Apa namanya? Ketika yang ada dibenakmu adalah tentang kebahagiaan seseorang. Melihat tawa dan senyumnya menjadi hal yang begitu menenangkan. Ketika kamu sangat takut membuatnya merasa tidak nyaman.

Dan, apa namanya? Ketika kamu benar-benar takut akan kepergian seseorang dari hidupmu. Seperti ada yang kamu sesali ketika dia pergi. Bukan, bukan menyesali apapun tentang dia. Melainkan menyesali dirimu sendiri, lalu kamu berpikir ulang apakah ada yang salah dari tindakanmu sehinga dia begitu saja menjauh?

Sayangnya, aku juga tidak mengerti mengapa demikian. Aku juga tidak tahu semua itu apa namanya. Karena, perasaan yang lebih dari itu tengah menimpaku saat ini.

Dia, adalah penting dalam keseharianku. Kabarnya menjadi salah satu kewajiban untuk kucari tahu. Apakah dia sehat? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia bahagia? Ke mana saja dia hari ini? Apa saja yang dia lakukan? Dan, bersama siapa kah dia? Sialnya, aku tidak bisa menanyakan semua itu kepadanya. Aku harus cari tahu dengan caraku sendiri. Meski pada akhirnya, tak jarang aku gagal mendapatkan apa yang ingin ku ketahui.

Entahlah, itu apa namanya. Yang jelas, selalu memberi yang terbaik untuknya adalah deretan keinginan yang selalu kuusahakan. Apa pun, asalkan dia bahagia.

Apa namanya?

Jumat, 12 Juni 2015

Sudah, Aku Sudah Mengalah..

Mengalah kepada waktu. Itukah yang kau mau untuk kulakukan?

Sepatah kata yang tak lagi punya daya. Kau tanya seberapa lama lagi aku akan begini? Tak Sedikitpun beranjak dari tempat kita terakhir bertemu. Ini semua aku lakukan karena aku tak tahu lagi harus ke mana.

Kau tahu? Aku tidak pergi sejak itu, aku sekarang tersesat. Atau terperangkap lebih tepatnya. Pada sebuah ruang yang aku sendiri tak tahu apa warnanya, apa rasanya.

Sudah, sudah lama aku mengalah kepada waktu. Aku membiarkan ia membawa seluruh dukaku, sukaku, bahkan segalanya kulepas pergi bersamanya. Anehnya, rindu itu tak pernah habis meski waktu selama ini telah mengikis. Lagi-lagi, aku mengalah dan menanggung semua tanpa bantuan.

Apa lagi yang masih kau ragukan? Tak bisakah kau sedikit berbaik hati untuk menolongku? Keluarkan aku dari ruangan ini. Agar waktu tak semena-mena menghajarku, mengaduk-aduk, memaju-mundurkan kenangan-kenangan. Setidaknya, tunjukkan di mana pintunya, dan aku akan berjalan keluar sendiri.

Minggu, 26 April 2015

Entah Kapan, Sebelum Aku Menyerah...

*Backsong: I Surrender - Celine Dion

I know I can't survive
Another night away from you
You're the reason I go on
And now I need to live the truth
Right now, there's no better time
From this fear I will break free
And I'll live again with love
And no they can't take that away from me
And they will see...

I'd surrender everything
To feel the chance to live again
I reach to you
I know you can feel it too
We'd make it through
A thousand dreams I still believe
I'd make you give them all to me
I'd hold you in my arms and never let go
I surrender

Penggalan lirik itu mungkin mengawali pebicaraanku malam ini. Pembicaraanku dengan diriku sendiri. Aku kepada aku. Bukan kepada siapapun. Sayangnya, tentu saja perkara aku adalah tentang dia. Dia yang sejauh ini masih tetap kokoh di tempatnya. Dia yang selama ini masih memberi setitik labirin untuk hatiku. Sayangnya lagi, ia tidak memberikan hal yang sama kepada logikaku. Aku sadar, aku bodoh karena dia, dan aku bodoh untuk dia.

Aku bahkan tak pernah tahu kapan semua ini dimulai. Kapan dia mulai membangun kerajaannya. Aku juga tidak pernah memahami ke mana aliran itu menjatuhkan dirinya. Yang aku tahu, semuanya terlanjur basah. Dan aku belum melihat pintu terakhir dari semua ini. Masih lorong yang gelap, bahkan bercabang yang aku sulit untuk memilih jalan mana yang benar.

Entahlah, ketika mendengar tentang dia, tubuh serasa tidak berotot. Lemas. Lemas yang kunikmati. Aku tak berdaya, tapi aku menikmatinya. Aku tak bisa apa-apa, tapi aku enggan beranjak. Aku kalah, karena memang telak, aku selalu memenangkan dia. Aku bodoh, lagi-lagi.

Aku tahu, aku bukan yang terbaik untuk merawat apa yang dia punya. Tapi, aku punya cukup kesabaran untuk mendampingi perjalanannya. Aku yakin, dia juga merasakan hal itu. Meski pada akhirnya aku harus tetap melihat orang lain merawat segalanya yang dia punya, setidaknya aku pernah berusaha. Entah kapan, sebelum aku menyerah........

Senin, 16 Februari 2015

Sebutir Rasa



*Backsong: Dealova by Once
Sebutir rasa yang sejak lama telah tersemai dengan sendirinya. Butir itu menumbuhkan akar di sekujur tubuhnya. Mencengkeram bongkahan hati, kemudian berkembang di sana. Sungguh aneh, ketika tumbuhnya terlalu pesat, tanpa pupuk, tanpa ada yang mengairi. Bahkan, sekarang sebutir itu telah menjadi pohon yang kokoh, berbuah sampai jatuh, menyemai butir baru. Kini, entah sudah berapa ratus, ribu, bahkan juta pohon kokoh yang terus berkembang di taman hati.
Tentu, semua orang tau bahwa tulisanku tak akan jauh dari perihal kamu. Tak terkecuali kali ini. Pohon-pohon itu makin menjadi-jadi. Pohon-pohon itu terkadang begitu munafik, Sayang. Ada kalanya ia berbunga, wangi, indah. Ada kalanya bunga itu gugur tiba-tiba, lalu tumbuh benalu yang begitu memberatkan tangkai-tangkainya. Pergantiannya tak tentu. Begitu merepotkan sang pemilik taman hati. Tentu saja, sang pemilik berusaha keras mengurus taman itu agar tetap indah, setidaknya benalu tidak merundukkan dahan-dahan pohonnya. Dengan cara apapun, dengan jalan manapun, tak segan ditempuh.
Taman hati itu layaknya sebuah harapan, Sayang. Terus diusahakan hingga suatu hari nanti taman itu bisa subur dengan pohon-pohon yang berbunga indah, banyak dihinggapi serangga pemburu nektar. Dan taman-taman di negeri-negeri dongeng akan benar-benar nyata, dengan kastil tinggi lebar di ujungnya, berpenghuni seorang raja dan ratu.
Siapa yang mau harapan itu dicacah oleh luka? Tapi, jika pada akhirnya harus demikian, tak usah kau tanya seberapa sanggup pemilik taman berlapang dada. Karena sesungguhnya selapang-lapangnya hati seseorang adalah ketika ia ikhlas memberikan waktunya untuk merawat sesuatu yang siapa tau nantinya justru akan mengoyak jiwanya dan merusak tubuhnya.