Rabu, 16 Januari 2013

Kearifan Tepian Kapuas

Judul buku                  : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Pengarang                   : Tere Liye
Penerbit                       : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman           : 512 halaman
Harga                          : Rp. 72.000,-
Luar Biasa! Mungkin ngkapan itu yang pantas disematkan untuk novel karya Tere Liye ini. Sebuah karya sastra yang mengajari tapi bukan menggurui. Memberi banyak petuah hidup dalam setiap alurnya yang rapat. Mengajak pembaca mengaduk-aduk perasaan melalui segmen-segmen kepelikan konflik yang ditampilkan.
Kisah bernas yang dipintal dengan kepiawaian seorang tukang cerita, hal menarik lainnya adalah penggunaan Kota Pontianak dan Sungai Kapuas sebagai seting. Sampai saat ini, saya belum pernah membaca karya fiksi yang menghidupkan kota dan sungai ini sebagai seting utama. Tere Liye memberdayakan seting ini secara intens sehingga kita seolah-olah dibawa ke kota yang didirikan Syarif Abdurrahman Alkadrie pada 23 Oktober 1771 ini dan mendengar lenguhan burung-burung walet terbang menuju sarang di bangunan paling banyak di Kota Khatulistiwa ini. Sementara di Sungai Kapuas, desau angin menciptakan riak-riak yang menerpa badan sepit yang sedang melenggang membelah permukaan sungai sepanjang 1.143 km. 
            Borno, pemuda berhati paling lurus sepanjang Kapuas. Menjadi penggerak utama jalan cerita dalam novel ini. Mulai dari kisah keluarga, cinta, keberhasilan, dan perjuangan Borno benar-benar jelas tergambar dalam pikiran pembaca melalui pendeskripsian yang sederhana. Pencitraan dan  gaya bahasa penulis mampu membuat imajinasi pembaca semakin melambung, seakan ruh pembaca ikut terlibat dalam cerita. Menjadi salah satu saksi nyata kisah Borno dan keluarga besar pinggiran Kapuas ini.
            Penampilan mata pencaharian yang jarang diperhatikan orang membuat cerita ini memberi pengetahuan baru bagi pembacanya. Pengemudi sepit (dari kata speed). Sepit adalah semacam perahu tradisional yang digunakan warga Kapuas menyeberangi sungai ketika hendak pergi kerja, berbelanja, dan aktivitas mereka yang lain. Alat penggeraknya masih berupa propeler. Untung saja Borno mengetahui banyak tentang mesin. Jadi, bukan masalah.
            Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah adalah novel yang sarat akan nasehat. Terlebih, Tere Liye menampilkan nasehat tersebut tak hanya melalui Borno dan takdir hidupnya. Tapi yang lebih mengena adalah melalui Pak Tua. Seorang tokoh yang menurut saya berkarakter unik. Dengan usianya yang tak muda lagi, beliau mengetahui banyak hal, mengerti tentang anak muda, dan memahami setiap lekuk perasaan orang lain. Entahlah, Pak Tua ini tahu bayak hal itu dari mana. Yang jelas, setiap kata-kata Pak Tua mampu menghidupkan perasaan pembaca, menyugesti pembaca agar juga mengaplikasikan apa yang ia katakan dalam keseharian mereka.
“Sederhana, Borno. Kau bolak-balik sedikit saja hati kau. Sedikit saja, dari rasa dipaksa menjadi sukarela, dari rasa terhina menjadi dibutuhkan, dari rasa disuruh-disuruh menjadi penerimaan. Seketika, wajah kau tak kusut lagi. Dijamin berhasil. Bahkan Togar malah mencak-mencak lihat kau tersenyum tulus saat dia meneriaki kau bergegas menyikat kakus” (halaman 59)
Demikian kata Pak Tua. Menjadi obat kemengkalan Borno terhadap Togar, ketua himpunan pengemudi sepit Kapuas, anak angkat tetua suku Dayak, juga satu-satunya pengemudi sepit yang galak dan suka menyuruh-nyuruh.
            Yang berbeda dari novel ini adalah pembauran masyarakat dari tinjauan sosiologisnya. Koh Acong dan Cik Tulani yang merupakan keturunan Cina, Andi, sahabat Borno yang berdarah bugis, dan tokoh lain yang berlatar belakang dari berbagai suku, dapat berinteraksi dengan baik dan hidup bersama dengan solidaritas tinggi. Saling timbal balik dan menghargai merupakan salah satu perwujudan dari semboyan tanah air, yaitu “Bhineka Tunggal Ika”.
            Jalan cerita yang diciptakan juga membentuk cita rasa baru yang berbeda dari novel-novel percintaan lain. Memberi sensasi yang mampu membentuk pemahaman baik tentang “jatuh cinta” kepada pembaca. Bahwa cinta adalah pengorbanan. Cinta bukan paksaan, tetapi pantas diperjuangkan. Cinta adalah penantian berjam-jam, berhari-hari, bahkan bertahun-tahun. Dan cinta bukan hanya perkataan, melainkan perbuatan yang tulus dari hati.
Novel ini dibuka dengan kisah Borno kecil yang bertanya tentang panjang Sungai Kapuas karena dia ingin tahu apabila dia buang air di hulu Kapuas, butuh berapa hari ‘residu padat’ itu sampai di depan rumahnya. Yah, begitulah anak-anak, kerap memikirkan sesuatu yang jarang terpikirkan oleh orang dewasa. Dia bertanya mengenai panjang sungai Kapuas kepada ayahnya (sebelum meninggal), ibunya, Koh Acong, dan Cik Tulani. Semuanya tidak memberi jawaban yang memuaskan. Hingga akhirnya ia bertanya pada Pak Tua berapa panjang Kapuas dan butuh berapa lama untuk mencapai hulunya. Menanggapi pertanyaan Borno, Pak Tua justru memberikan jawaban yang bagi Borno dianggap sebagai jawaban yang berbelit-belit. Katanya, waktu yang diperlukan untuk mencapai hulu tergantung perahu yang digunakan, siapa yang mengemudikan perahu, di musim apa pergi ke hulu. Pokoknya ribet. Tapi, bila dipikir-pikir, yang dikatakan Pak Tua memang benar. Dalam merencanakan  untuk meraih sesuatu, kita harus memperhatikan banyak faktor. Kita harus mengukur ‘kekuatan’ diri, menentukan ‘alat’ yang akan digunakan, cara yang akan ditempuh, dan masih banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan.
Kemudian cerita dilanjutkan dengan kisah Borno yang berganti-ganti pekerjaan, mulai dari pekerja di pabrik pengolahan karet, petugas pemeriksa karcis di pelabuhan, hingga pertentangan hati ketika dia harus menjadi pengemudi sepit. Awalnya dia tidak mau menjadi pengemudi sepit karena wasiat ayahnya yang melarangnya menjadi pengemudi sepit. Namun, setelah mendengar nasihat ibunya dan Pak Tua, Borno pun menjalani mata pencaharian tersebut. Saat menjadi pengemudi sepit inilah Borno bertemu dengan Mei, gadis Tionghoa, cantik, beraut sendu menawan, suka memakai baju kurung kuning, dan ramah. Mei juga seorang guru muda yang dikagimi oleh murid-muridnya. Hingga ketika Mei menaiki sepit Borno, ia menjatuhkan sebuah amplop merah (yang di kemudian hari ‘disadari’ Borno bahwa itu hanya angpau, meski sebenarnya bukan).
Gadis Tionghoa itu pula lah yang membuat Borno bertingkah ‘aneh’ dengan ngotot untuk berada di antrian sepit nomor tiga belas dan membuat Borno menunggu-nunggu kedatangannya pada pukul tujuh lewat lima belas, demi mendapati Mei naik sepitnya. Ia tak peduli dengan omelan-omelan pengemudi sepit lain yang tidak terima didahului. Bisa tidak bisa, Borno harus mendapat antrian sepit nomor tiga belas.

“Apalah namanya ini? Disebut apakah perasaan ini? Kenapa hatiku macam sayuran lupa dikasih garam, hambar, tidak enak, tidak nyaman? Atau seperti ada tumpukan batu besar di dalamnya, bertumpuk-tumpuk, membuat sempit. Atau seperti ikan diambil tulangnya, kehilangan semangat.”

Itulah kata hati Borno ketika bertemu dengan Mei. Sama halnya dengan pemuda umumnya, ia selalu gelisah dan pikirannya selalu tertuju kepada sendu menawannya itu.
“Ibu, usiaku dua puluh dua, selama ini tidak ada yang mengajariku tentang perasaan-perasaan, tentang salah paham, tentang kecemasan, tentang bercakap dengan seseorang yang diam-diam kaukagumi. Tapi sore ini, meski dengan menyisakan banyak pertanyaan, aku tahu, ada momen penting dalam hidup kita ketika kau benar-benar merasa ada sesuatu yang terjadi di hati. Sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskan.”
“Kita tidak pernah tahu masa depan. Dunia terus berputar. Perasaan bertunas, t   umbuh mengakar, bahkan berkembang biak di tempat yang paling mustahil dan tidak   masuk akal sekalipun.”
Lantas apa semuanya menjadi sesederhana itu? Tentu saja tidak. Tidak ada yang sederhana di dunia ini. Borno dan Mei harus berpisah untuk kemudian dipertemukan lagi. Saling merindukan, saling menunggu, dengan taburan berbagai kesalahpahaman.
“Nak, perasaan itu tidak sesederhana satu tambah satu sama dengan dua. Bahkan ketika perasaan itu sudah jelas bagai bintang di langit, gemerlap indah tak terkira, tetap saja dia bukan rumus matematika. Perasaan adalah perasaan.”
“Rasa senang, rasa sedih, itu semua hanya soal pengharapan.”
Hingga suatu saat, ketika Borno sedang berada jauh dari Mei, ia bertemu dengan Sarah, seorang dokter muda di Kapuas itu ketika mengantar Pak Tua yang sedang sakit. tak kalah cantik dan pintar dari Mei, Sarah juga sangat menarik. Kehadiran Sarah itulah yang semakin membuat Borno bekerja keras mengendalikan perasaannya.
“Maafkan aku Mei, itulah satu-satunya yang tidak bisa kupenuhi. Sarah bukan kesempatan baru bagiku. Kau satu-satunya kesempatan yang pernah kumiliki, dan aku tidak akan pernah mau menggantinya dengan siapapun.”
Demikian prinsip Borno. Ia tetap konsisten dengan hatinya. Sangat pantas jika ia dikatakan sebagai ‘bujang berhati paling lurus sepanjang Kapuas’. Dua dunia yang berbeda, namun tetap berusaha sebaik-baiknya menjalankan peran masing-masing dalam penantian. Terus memperbaiki nilai keberadaan masing-masing di dunianya. Sungguh, ini bukan kisah cinta yang cengeng dan norak. Ini adalah sample kisah cinta yang penuh kesabaran dan penerimaan. Tidak terburu-buru mencari kesimpulan dan membiarkan takdir mengantarkan mereka berdua pada kebenaran. Karena memang semuanya tidak sesederhana yang terlihat. Borno bertemu dengan Mei dan kemudian Sarah. Ada jalinan benang nasib yang mempertautkan pertemuan dan perpisahan mereka.
            Tere Liye memang penulis yang lihai mengacak dan menyusun kata. Ia menampilkan cerita yang sebenarnya penuh kesedihan, ketabahan dengan bahasa yang ceria dan menyenangkan.
            Namun, ada pula bagian novel ini yang menurut saya membosankan. Yaitu ketika Borno terlalu sibuk dengan bisnis bengkelnya dengan bapak Andi dan Andi yang tertipu setelah membeli bengkel baru. Terlalu panjang penjabarnnya. Tetapi, secara garis besar, novel ini mengagumkan!
            Selain memotivasi, novel ini juga menginspirasi setiap pembacanya. Sangat baik dikonsumsi masyarakat. Novel ini dapat mengajak  mereka untuk terus menabur cinta kasih di atas muka bumi, dengan satu penegasan, “bercintakasihlah dengan pengertian dan pemahaman positif”.
            Benang merah yang dapat saya tarik dari kisah ini adalah “ketika kita berjuang dengan perasaan yang tulus dan hati yang ikhlas, maka perjuangan tersebut akan berujung menyenangkan, membuat hati kita puas meski tujuan utama belum tentu tercapai”.
            Ketika menutup halaman terakhir saya masih tergelak, ikut senang dengan akhir kisah Borno, kemudian merenung.. Sanggupkah saya menerima jalinan benang nasib dengan senyuman, penerimaan, kerja keras dan keikhlasan seperti Borno?
            Novel ini sangat sayang jika tidak dibaca. Bisa-bisa kita kehilangan banyak kesempatan untuk menjadi orang yang lebih baik melalui buku ini. Saya sangat berterimakasih kepada Tere Liye atas pemahaman baru yang saya dapatkan. Dan kepada Gramedia penerbit yang telah mewujudkan kisah inspiatif ini hingga sampai ke tangan saya.
“Ah, cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.”