Pengarang : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 512 halaman
Harga : Rp. 72.000,-
Luar Biasa!
Mungkin ngkapan itu yang pantas disematkan untuk novel karya Tere Liye ini.
Sebuah karya sastra yang mengajari tapi bukan menggurui. Memberi banyak petuah
hidup dalam setiap alurnya yang rapat. Mengajak pembaca mengaduk-aduk perasaan
melalui segmen-segmen kepelikan konflik yang ditampilkan.
Kisah
bernas yang dipintal dengan kepiawaian seorang tukang cerita, hal menarik
lainnya adalah penggunaan Kota Pontianak dan Sungai Kapuas sebagai seting.
Sampai saat ini, saya belum pernah membaca karya fiksi yang menghidupkan kota
dan sungai ini sebagai seting utama. Tere Liye memberdayakan seting ini secara
intens sehingga kita seolah-olah dibawa ke kota yang didirikan Syarif
Abdurrahman Alkadrie pada 23 Oktober 1771 ini dan mendengar lenguhan
burung-burung walet terbang menuju sarang di bangunan paling banyak di Kota
Khatulistiwa ini. Sementara di Sungai Kapuas, desau angin menciptakan riak-riak
yang menerpa badan sepit yang sedang melenggang membelah permukaan sungai
sepanjang 1.143 km.
Borno,
pemuda berhati paling lurus sepanjang Kapuas. Menjadi penggerak utama jalan
cerita dalam novel ini. Mulai dari kisah keluarga, cinta, keberhasilan, dan
perjuangan Borno benar-benar jelas tergambar dalam pikiran pembaca melalui
pendeskripsian yang sederhana. Pencitraan dan
gaya bahasa penulis mampu membuat imajinasi pembaca semakin melambung,
seakan ruh pembaca ikut terlibat dalam cerita. Menjadi salah satu saksi nyata
kisah Borno dan keluarga besar pinggiran Kapuas ini.
Penampilan
mata pencaharian yang jarang diperhatikan orang membuat cerita ini memberi
pengetahuan baru bagi pembacanya. Pengemudi sepit (dari kata speed). Sepit adalah semacam perahu tradisional
yang digunakan warga Kapuas menyeberangi sungai ketika hendak pergi kerja,
berbelanja, dan aktivitas mereka yang lain. Alat penggeraknya masih berupa
propeler. Untung saja Borno mengetahui banyak tentang mesin. Jadi, bukan
masalah.
Kau,
Aku, dan Sepucuk Angpau Merah adalah novel yang sarat akan nasehat. Terlebih,
Tere Liye menampilkan nasehat tersebut tak hanya melalui Borno dan takdir
hidupnya. Tapi yang lebih mengena adalah melalui Pak Tua. Seorang tokoh yang
menurut saya berkarakter unik. Dengan usianya yang tak muda lagi, beliau
mengetahui banyak hal, mengerti tentang anak muda, dan memahami setiap lekuk perasaan
orang lain. Entahlah, Pak Tua ini tahu bayak hal itu dari mana. Yang jelas,
setiap kata-kata Pak Tua mampu menghidupkan perasaan pembaca, menyugesti
pembaca agar juga mengaplikasikan apa yang ia katakan dalam keseharian mereka.
“Sederhana, Borno. Kau bolak-balik sedikit saja hati
kau. Sedikit saja, dari rasa dipaksa menjadi sukarela, dari rasa terhina
menjadi dibutuhkan, dari rasa disuruh-disuruh menjadi penerimaan. Seketika,
wajah kau tak kusut lagi. Dijamin berhasil. Bahkan Togar malah mencak-mencak
lihat kau tersenyum tulus saat dia meneriaki kau bergegas menyikat kakus” (halaman 59)
Demikian kata
Pak Tua. Menjadi obat kemengkalan Borno terhadap Togar, ketua himpunan
pengemudi sepit Kapuas, anak angkat tetua suku Dayak, juga satu-satunya
pengemudi sepit yang galak dan suka menyuruh-nyuruh.
Yang
berbeda dari novel ini adalah pembauran masyarakat dari tinjauan sosiologisnya.
Koh Acong dan Cik Tulani yang merupakan keturunan Cina, Andi, sahabat Borno
yang berdarah bugis, dan tokoh lain yang berlatar belakang dari berbagai suku,
dapat berinteraksi dengan baik dan hidup bersama dengan solidaritas tinggi.
Saling timbal balik dan menghargai merupakan salah satu perwujudan dari
semboyan tanah air, yaitu “Bhineka Tunggal Ika”.
Jalan
cerita yang diciptakan juga membentuk cita rasa baru yang berbeda dari
novel-novel percintaan lain. Memberi sensasi yang mampu membentuk pemahaman
baik tentang “jatuh cinta” kepada pembaca. Bahwa cinta adalah pengorbanan.
Cinta bukan paksaan, tetapi pantas diperjuangkan. Cinta adalah penantian
berjam-jam, berhari-hari, bahkan bertahun-tahun. Dan cinta bukan hanya
perkataan, melainkan perbuatan yang tulus dari hati.
Novel ini dibuka dengan kisah Borno
kecil yang bertanya tentang panjang Sungai Kapuas karena dia ingin tahu apabila
dia buang air di hulu Kapuas, butuh berapa hari ‘residu padat’ itu sampai di
depan rumahnya. Yah, begitulah anak-anak, kerap memikirkan sesuatu yang jarang
terpikirkan oleh orang dewasa. Dia bertanya mengenai panjang sungai Kapuas
kepada ayahnya (sebelum meninggal), ibunya, Koh Acong, dan Cik Tulani. Semuanya
tidak memberi jawaban yang memuaskan. Hingga akhirnya ia bertanya pada Pak Tua
berapa panjang Kapuas dan butuh berapa lama untuk mencapai hulunya. Menanggapi
pertanyaan Borno, Pak Tua justru memberikan jawaban yang bagi Borno dianggap
sebagai jawaban yang berbelit-belit. Katanya, waktu yang diperlukan untuk
mencapai hulu tergantung perahu yang digunakan, siapa yang mengemudikan perahu,
di musim apa pergi ke hulu. Pokoknya ribet. Tapi, bila dipikir-pikir, yang
dikatakan Pak Tua memang benar. Dalam merencanakan untuk meraih sesuatu,
kita harus memperhatikan banyak faktor. Kita harus mengukur ‘kekuatan’ diri,
menentukan ‘alat’ yang akan digunakan, cara yang akan ditempuh, dan masih
banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan.
Kemudian cerita dilanjutkan dengan
kisah Borno yang berganti-ganti pekerjaan, mulai dari pekerja di pabrik
pengolahan karet, petugas pemeriksa karcis di pelabuhan, hingga pertentangan
hati ketika dia harus menjadi pengemudi sepit. Awalnya dia tidak mau menjadi
pengemudi sepit karena wasiat ayahnya yang melarangnya menjadi pengemudi sepit.
Namun, setelah mendengar nasihat ibunya dan Pak Tua, Borno pun menjalani mata
pencaharian tersebut. Saat menjadi pengemudi sepit inilah Borno bertemu dengan
Mei, gadis Tionghoa, cantik,
beraut sendu menawan, suka memakai baju kurung kuning, dan ramah. Mei juga
seorang guru muda yang dikagimi oleh murid-muridnya. Hingga ketika Mei menaiki
sepit Borno, ia menjatuhkan sebuah amplop merah (yang di kemudian
hari ‘disadari’ Borno bahwa itu hanya angpau, meski sebenarnya bukan).
Gadis Tionghoa itu pula lah yang
membuat Borno bertingkah ‘aneh’ dengan ngotot untuk berada di
antrian sepit nomor tiga belas dan membuat Borno menunggu-nunggu kedatangannya
pada pukul tujuh lewat lima belas, demi mendapati Mei naik sepitnya. Ia tak peduli
dengan omelan-omelan pengemudi sepit lain yang tidak terima didahului. Bisa
tidak bisa, Borno harus mendapat antrian sepit nomor tiga belas.
“Apalah namanya ini? Disebut
apakah perasaan ini? Kenapa hatiku macam sayuran lupa dikasih garam, hambar,
tidak enak, tidak nyaman? Atau seperti ada tumpukan batu besar di dalamnya,
bertumpuk-tumpuk, membuat sempit. Atau seperti ikan diambil tulangnya,
kehilangan semangat.”
Itulah kata hati Borno ketika
bertemu dengan Mei. Sama halnya dengan pemuda umumnya, ia selalu gelisah dan
pikirannya selalu tertuju kepada sendu menawannya itu.
“Ibu, usiaku
dua puluh dua, selama ini tidak ada yang mengajariku tentang perasaan-perasaan,
tentang salah paham, tentang kecemasan, tentang bercakap dengan seseorang yang
diam-diam kaukagumi. Tapi sore ini, meski dengan menyisakan banyak pertanyaan,
aku tahu, ada momen penting dalam hidup kita ketika kau benar-benar merasa ada
sesuatu yang terjadi di hati. Sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskan.”
“Kita tidak
pernah tahu masa depan. Dunia terus berputar. Perasaan bertunas, t umbuh mengakar, bahkan berkembang biak di
tempat yang paling mustahil dan tidak masuk
akal sekalipun.”
Lantas apa
semuanya menjadi sesederhana itu? Tentu saja tidak. Tidak ada yang sederhana di
dunia ini. Borno dan Mei harus berpisah untuk kemudian dipertemukan lagi.
Saling merindukan, saling menunggu, dengan taburan berbagai kesalahpahaman.
“Nak, perasaan
itu tidak sesederhana satu tambah satu sama dengan dua. Bahkan ketika perasaan
itu sudah jelas bagai bintang di langit, gemerlap indah tak terkira, tetap saja
dia bukan rumus matematika. Perasaan adalah perasaan.”
“Rasa senang,
rasa sedih, itu semua hanya soal pengharapan.”
Hingga suatu saat, ketika
Borno sedang berada jauh dari Mei, ia bertemu dengan Sarah, seorang dokter muda
di Kapuas itu ketika mengantar Pak Tua yang sedang sakit. tak kalah cantik dan
pintar dari Mei, Sarah juga sangat menarik. Kehadiran
Sarah itulah yang semakin membuat Borno bekerja keras mengendalikan
perasaannya.
“Maafkan aku
Mei, itulah satu-satunya yang tidak bisa kupenuhi. Sarah bukan kesempatan baru
bagiku. Kau satu-satunya kesempatan yang pernah kumiliki, dan aku tidak akan
pernah mau menggantinya dengan siapapun.”
Demikian prinsip Borno. Ia
tetap konsisten dengan hatinya. Sangat pantas jika ia dikatakan sebagai ‘bujang
berhati paling lurus sepanjang Kapuas’. Dua dunia
yang berbeda, namun tetap berusaha sebaik-baiknya menjalankan peran
masing-masing dalam penantian. Terus memperbaiki nilai keberadaan masing-masing
di dunianya. Sungguh, ini bukan kisah cinta yang cengeng dan norak. Ini adalah
sample kisah cinta yang penuh kesabaran dan penerimaan. Tidak terburu-buru
mencari kesimpulan dan membiarkan takdir mengantarkan mereka berdua pada
kebenaran. Karena memang semuanya tidak sesederhana yang terlihat. Borno
bertemu dengan Mei dan kemudian Sarah. Ada jalinan benang nasib yang
mempertautkan pertemuan dan perpisahan mereka.
Tere Liye memang penulis yang lihai
mengacak dan menyusun kata. Ia menampilkan cerita yang sebenarnya penuh
kesedihan, ketabahan dengan bahasa yang ceria dan menyenangkan.
Namun, ada pula bagian novel ini
yang menurut saya membosankan. Yaitu ketika Borno terlalu sibuk dengan bisnis
bengkelnya dengan bapak Andi dan Andi yang tertipu setelah membeli bengkel
baru. Terlalu panjang penjabarnnya. Tetapi, secara garis besar, novel ini
mengagumkan!
Selain memotivasi, novel ini juga
menginspirasi setiap pembacanya. Sangat baik dikonsumsi masyarakat. Novel ini
dapat mengajak mereka untuk terus menabur
cinta kasih di atas muka bumi, dengan satu penegasan, “bercintakasihlah dengan
pengertian dan pemahaman positif”.
Benang merah yang dapat saya tarik
dari kisah ini adalah “ketika kita berjuang dengan perasaan yang tulus dan hati
yang ikhlas, maka perjuangan tersebut akan berujung menyenangkan, membuat hati
kita puas meski tujuan utama belum tentu tercapai”.
Ketika menutup halaman terakhir saya
masih tergelak, ikut senang dengan akhir kisah Borno, kemudian merenung..
Sanggupkah saya menerima jalinan benang nasib dengan senyuman, penerimaan,
kerja keras dan keikhlasan seperti Borno?
Novel ini sangat sayang jika tidak
dibaca. Bisa-bisa kita kehilangan banyak kesempatan untuk menjadi orang yang
lebih baik melalui buku ini. Saya sangat berterimakasih kepada Tere Liye atas
pemahaman baru yang saya dapatkan. Dan kepada Gramedia penerbit yang telah
mewujudkan kisah inspiatif ini hingga sampai ke tangan saya.
“Ah, cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru atau
kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.”