Jumat, 23 November 2012

Sepelik Apa "Kita"?

Apa kau menyadari, bahwa yang terjadi pada "kita" semakin merumit? Entah mengapa, perasaan bukan lagi hal yang sederhana. Bahkan, sudah lebih sensitif dibanding daun putri malu di musim hujan.

Banyak yang tak pernah kamu ketahui. Memang sengaja kusimpan, biar hanya aku yang menulisnya dalam lembar-lembar ingatan.

Tentang ketakutanku, mengingatmu, melihatmu, menemuimu, berbicara denganmu. Dalam kondisi itu aku lebih memilih menjadi patung jika boleh. Biar seluruh organ tubuhku tak berfungsi, menjadi batu atau adonan semen dengan pasir. Terutama hati, yang semestinya juga ikut membatu, tanpa harus merasakan apa yang seharusnya hatiku rasakan.

Tentang keberanianku, mengingatmu, melihatmu, menemuimu, berbicara denganmu. Dalam situasi itu aku lebih memilih menjadi juru bicara presiden jika boleh. Hati adalah atasanku. Apapun hatiku berbicara, aku harus menyampaikannya padamu dengan baik dan sebenar-benarnya. Tak boleh menambah, juga mengurangi. Aku tak ingin melanggar kode etik pekerjaanku.

Tentang kepiawaianku, mengawasimu. Dari jauh, kamu selalu membuatku luluh. Itu saja, sudah sangat menyiksa. Bagaimana tidak? Aku melihatmu, mengetahui mengenai kamu, tanpa pernah boleh menyentuh sedikit pun wujudmu. Sedikit saja, benar-benar tidak boleh!

Harus sejauh apa "kita"? Sudah terlalu banyak belokan-belokan yang membuat kita tidak bisa saling melihat. Ada puluhan cabang jalan, dengan bodohnya aku duduk, menunggumu di salah satu tikungannya. Lamaaa, kamu tak tampak. Dan dalam doa penantianku, Tuhan memberitahuku bahwa kamu telah menempuh jalan yang lain. Tak melalui tikungan tempatku menunggu dan berdoa. Entah sengaja atau tidak, sepelik itukah "kita"?

Selasa, 13 November 2012

Terlanjur

"Siapa suruh aku mencintaimu?"

Dan aku harus menjawab apa atas pertanyaan itu? Mencintai bukan sebuah kesengajaan. Ia datang tiba-tiba dan tanpa sopan memenuhi ruang pikiran dan rongga hati. Lantas kau menyalahkanku? Terserah! Kepalang tanggung, sudah terlanjur!

Apapun, yang sudah terlanjur memang sulit dihentikan. Tapi bukan berarti tidak bisa. Hanya saja aku tidak mau melakukannya. Untuk apa aku memaksa perasaanku untuk berhenti melakukan apa yang dia mau, sedangkan aku sendiri merasa itu sebuah keadaan yang "comfort"? Sakit yang nyaman lebih tepatnya.

Ada sebuah ketertarikanku atas dirimu. Fisik? Jelas! Kau tampan, apa adanya. Ah, tapi itu tidak penting. Jika ada daftar prioritas, ketampanan ada di bawah inner beauty dan attitude. Bahkan ada di bawah "kefokusan mata menatap", juga di bawah ini, itu, dan di bawah yang lainnya. Banyak yang lebih menarik darimu dibanding sekedar sebuah wujud fisik.

Ada lagi yang paling utama, masalah hati. Jadi, tak bisa kujawab jika kau bertanya kenapa aku mencintaimu. Bukan karena tanpa alasan, tapi karena saking banyaknya alasan. Alasan yang mustahil untuk kupaparkan, kudeskripsikan. Aku, otakku, hatiku, dan Tuhan yang tahu secara pasti.

Lalu, kau tak nyaman dengan perasaanku? Kau menyuruhku menjauh? Bisa, hanya secara manifes! Namun secara laten, tentunya aku masih mengamatimu dari jauh, juga dari dekat. Masih sering merasa cemburu ketika kau "sedikit" dekat dengan perempuan. Masih sering terkagum dengan alur berpikirmu yang sering kautulis di akun sosial mediamu. Juga masih sering lirik-lirik waktu ketemu kamu. Yah, kan saling sapa sudah kauharamkan! Aku tak mau dosa dalam hukum cinta. Sanksinya cukup berat: Kau akan semakin jauh!

Perasaan memang terlajur tertanam. Lalu mengakar dan mencengkeram bongkah imajinasi. Hasilnya, di mana pun, kapanpun, kamu selalu ada walaupun sebenarnya tak ada. Kau tahu? Aku sering mengobrol dengan bayanganmu. Bercerita banyak hal kepadamu. Semacam monolog, aku menjadi diriku, juga menjadi dirimu. Seperti orang gila ya? Mungkin lebih dari gila, dan belum ditemukan apa namanya. Sebuah fanatisme yang wajar dan manusiawi.

Mungkin kau malas membaca tulisanku. "Buat apa?", pikirmu. Itu hakmu, tapi menulis ini juga hakku. Jangan kausalahkan!! Karena Tuhan tak pernah menyalahkanku atas hal ini. Tidak pernah!!


Ditulis dengan cinta dan sedikit emosi,

Auliya

Rabu, 07 November 2012

Ketika Aku dalam Luka

memberontak bagai tiran
menyelip seperti angin
runcing bak jarum berkarat
menginfeksi setelah menusuk
sulit sembuh..

ketika aku dalam luka
semua berpura-pura mati
yang punya telinga menyumpat
yang punya mata memejam

kamu? jangankan peduli
berbalik, menginjak daun kering
meludah, melempar sabit yang melelehkan,
juga melubangi perasaan

Jumat, 26 Oktober 2012

Sajak Hujan


Langit menangis, Cinta. Katanya cemburu. Bukan, bukan kepada terik, atau kepada mendung. Iya, langit cemburu kepadaku. Aku tahu semua dari hujan. Kau tahu apa katanya? Hujan bilang, karena aku lebih mencintaimu dibanding langit. Tentu itu bukan salahku. Menyimpan sayang padamu adalah hak semua makhluk, termasuk aku bukan?

Langit kecewa, Cinta. Ia menumpahkan air matanya ke bumi. Astaga, Ia meminta hujan memarahiku. Masih dengan perkara yang sama, karena aku lebih mencintaimu dibanding langit. Sudah, kubiarkan hujan mengomel hampir setengah jam. Aku tak berani mengatakan apapun padanya. Diam, dan mendengarkan hujan, adalah aku malam ini.

Langit meradang, Cinta. Ia meleparkan butiran-butiran air sekeras mungkin ke bumi. Aduh, tajamnya menghunjam kulitku. Bahkan sampai hatiku. Ingin berlindung? Sayang, kau tak ada di sini. Sebab langit hanya menurut kepadamu, selain kepada Tuhan.

Dan pada akhirnya, langit terus menerorku malalui hujan. Aku bingung, dan malam ini kucoba mengajukan abolisi padanya, namun ditolaknya mentah-mentah. Meminta grasi? Sama, tidak dikabulkannya.

Langit terlanjur marah. Tapi aku juga tidak bisa menghentikan laju hatiku yang kian hari semakin cepat berlari. Berlari berusaha menemukan ruang dalam hidupmu, suatu hari nanti. Aku tak bisa mengatakan apapun padanya.

Cinta, kau bisa membantuku? Setidaknya, untuk menasehati langit agar Ia tidak egois, berusaha menerima jika ada seseorang yang lebih mencintaimu dibandingnya. AKU!

Rabu, 17 Oktober 2012

Cinta Itu, Sayang...

Cinta itu, Sayang.. mengajarkanku keikhlasan. Ikhlas merasakan sakit, juga ikhlas mengobatinya. Tidak meminta imbalan atas apa yang telah dikorbankan. Tidak mengharap pamrih atas apapun!!

Cinta itu, Sayang.. mendewasakanku. Menjelaskan padaku bahwa usia bukan jaminan untuk sebuah kedewasaan. Dewasa dalam arti memikirkan apapun yang akan diperbuat, berpikir panjang dan logis atas konsekuensi sebuah keputusan.

Cinta itu, Sayang.. menguatkanku. Memaksaku bertahan meski berulang terjatuh dan luka. Memberiku pengalaman bagaimana mengeringkan dan menyembuhkan lukaku sendiri.

Cinta itu, Sayang.. mampu melebarkan hati, melapangkan dada. Menaikkan volume sabar, sabar, sabar untuk menunggu.

Cinta itu, Sayang.. membuatku mengerti betapa berharganya sepotong perasaan. Perasaan sayang, rindu, sedih, senang, dan sebagainya. Tanpa mereka, aku takkan pernah merasakan hidup.

Cinta itu, Sayang.. memberitahuku bahwa menangis dan tersenyum itu berbeda tipis. Sama halnya dengan peralihan antara sore dengan malam. Hanya bersekat senja.  Tenggelamnya matahari yang hanya berlangsung 54 detik.

Cinta itu, Sayang.. KAMU!! Sosok yang tak bisa kudefinisikan, tapi mampu mengaduk-aduk perasaan. Sosok yang sulit kugambarkan dalam pikiran orang lain, namun cukup gamblang dalam pikiranku sendiri.

Dan, cinta itu, Sayang.. entahlah. Terlalu sulit untuk menyusun kata yang terlalu banyak berdesakkan di ujung kepala. Lantas, bisa kaubantu menyusunnya??


***** *******

Jumat, 12 Oktober 2012

Lima Musim


 
Kemarau, dengan tegas mamintaku bersabar. Untuk menanti hujan, menunggu basah. Aku yakin, bahwa sebenarnya ia tahu kerontangnya mangkuk hati, belanga perasaan. Tapi, tetap saja, kamarau memintaku menarik napas panjang untuk bersabar..

Hujan, memaksaku tenggelam. Banjir dengan duka, terhanyut arus luka. Sungguh, hujan terlalu membasahi kertas. Sekali sentuh robek, kemudian hancur. Iya, hilang ditelan gelombang.

Salju, membuatku menggigil. Membekukan asa menjadi angan. Kau tahu? ketika aku merasa kedinginan dalam gelap, angan pun membias lalu ikut menghitam. Menyentuh? Mustahil!! Ia terlanjur "entah ke mana"...

Gugur sama saja. Menjatuhkan harapan sampai pecah. Hendak kupungut dan kusambung lagi serpihannya, angin terlanjur menyapunya pergi. Mengejar? Kakiku terlalu pendek. Biar kutatap saja punggung angin itu. Dalam hati kubilang "pergilah.. gugur mengajariku tentang keikhlasan"..

Dan demikian dengan semi. Menyuburkan tanaman lara dalam hati. Dengan apa aku harus memusnahkannya? Mencabutnya samapai akar? Tanganku justru dilukai durinya. Memberi cairan racun? Astagaa, kenapa malah aku dipaksanya untuk menenggaknya? Semua sudah gelap, kemudian memekat.

Sejak lima musim itu, aku serasa "hidup segan mati tak mau". Kubuka mata, tetap gelap. Hatiku? Diiris pun tak masalah. Pengalaman akan mudah menyatukannya kembali menjadi utuh..