Subuh ini, rindu masih
enggan beranjak sesenti pun dari otak, hati, dan segala organ sumber perasaan.
Iya, masih tentang rindu. Jangan bosan. Karena memang rindu adalah ungkapan
terbaik dari sebuah perasaan cinta. Kau akan rindu jika kau tulus mencintai.
Kau akan rindu jika kau ikhlas menyayangi. Dan kau akan rindu jika kau apa
adanya menyukai.
Semudah itu memang
untuk mengenali sebuah rasa. Jika dia merindukanmu, maka dia mencintaimu.
Simpel. Tapi, sayangnya tak ada barometer untuk mengukur seberapa besar kadar
sebuah rindu. Hanya sebatas “rindu”, “teramat rindu”, atau “teramat sangat
rindu”. Oh, ternyata tidak sesimpel itu. Rindu tetap saja rumit.
Subuh ini, ada geliat
yang mendesak hatiku untuk lebih dalam memikirkanmu. Muncul begitu saja,
memang. Baiklah, aku tak bisa mengelak. Lagi-lagi aku harus mengikuti geliat
itu. Memikirkanmu lebih dalam, terhipnotis, lantas aku mudah tumbang. Iya,
siapa lagi? Geliat itu namanya rindu. Lalu, apakah ini rindu, teramat rindu,
atau teramat sangat rindu? Hanya “rindu” barangkali.
Ketika kita dekat,
rindu itu seakan hilang, lebur lenyap. Ketika kita jauh, membuncah! Hati dan
pikiran ini dengan cepat terasa penuh, sesak. Tidak tahu oleh apa, yang jelas
penyembuhnya hanya satu: Kau! Ini kah yang namanya “teramat rindu”?
Entahlah, aku sudah
terlalu mudah untuk merasakan sebuah rindu. Sedikit-sedikit rindu,
sebentar-sebentar rindu, lepas bertemu rindu, lepas telepon rindu.
Intensitasnya begitu masif. Oh, aku paham. Aku “teramat sangat rindu”.
Tiga-tiganya aku punya.
Sedalam itu. Lalu, bagian mana lagi yang kau ragukan dariku?