Aku lelah hari ini.
Seharian harus berkutat dengan urusan keuangan perusahaan. Mataku kering dan
pedas berkat memelototi deretan angka yang harus kuhitung. Salah sedikit,
mengulang lah sudah. Itulah pekerjaanku. Ketelitian dan kesabaranku harus
kuforsir habis-habisan.
Kuhempaskan
tubuh kurusku ke atas kasur empuk dalam kamarku. Tak ada gerakan berarti dari springbed berseprei ungu itu ketika
kujatuhi. Ya, mungkin karena tubuhku yang terlalu enteng. Memang sejak dulu tubuhku
tak bisa menggendut. Entahlah apa penyebabnya. Bawaan lahir? Atau keadaan yang
membiasakanku. Saat itu juga, tak ayal pikiranku menembus awang-awang. Jauh,
kira-kira lima belas tahun yang lalu.
Aku
kecil, di perempatan lampu merah. Gadis sepuluh tahun yang kurus, hitam, baju
lusuh. Jangan Tanya, rambut gimbal dan tubuhku tentu saja bau. Aku jarang
mandi. Cuci muka pun bisa dihitung berapa kali. Tak jarang orang-orang di kota
besar itu menutup hidung ketika berpapasan denganku. Ah, tak kuhiraukan
perlakuan dan cibiran mereka. Yang terpenting obat untuk ibu bisa kubeli dan
adik laki-lakiku tidak mengikatkan sarung lagi di perutnya.
Mengamen.
Seharian bernyanyi dari satu mobil ke mobil lain. Sekedar untuk mengisi perut.
Ibuku? Ia tak bisa apa-apa lagi. Kedua kakinya lumpuh karena peristiwa
kecelakaan dua tahun lalu. Rumah kardus dengan lingkungan kumuh di kolong jembatan
lah yang setia melindungi keluarga kami. Diapit gedung-gedung tinggi di kota
metropolitan itu, membuatku merasa semakin “kecil”. Si kecil satu-satunya
tulang punggung keluarga. Adikku masih terlampau kecil untuk kuajak mencari
uang. Umurnya kira-kira lima tahun di bawahku.
Siang
itu, seperti biasa. Kutelusuri jalanan dari rumah kardusku menuju perempatan
tempatku mengamen. Terik sangat menusuk. Tapi, kulitku sudah kebal. Bukan
masalah jika aku harus berlama-lama dihunjam sinar panas itu.
Traffic Light merah
sedang menyala. Kudekati Toyota Rush
hitam. Aku bernyanyi, dan pengemudi mobil itu pun memberiku selembar lima puluh
ribuan. Aku kaget bukan kepalang. Banyak sekali pemuda tampan itu memberiku
uang. Kutatapnya dengan wajah bingung. Agaknya ia mengerti maksudku. Lantas ia
hanya mengangguk dan tersenyum. “Iya, semua buat kau,” demikian aku membaca
raut itu. Memang, sejak dia melihatku pandangannya menjadi nanar. Diam-diam
kuperhatikan roman mukanya. Aku pikir, pemuda tampan dalam mobil Rush itu menyimpan belas kasihan dengan
keadaanku.
Sekarang,
giliran lampu hijau menyala. Aku menyingkir ke trotoar. Menghitung isi kaleng
bekas susu sambil menunggu merah menyala lagi. Tiba-tiba, ada yang duduk di
sebelahku. Spontan aku menoleh, hendak tahu siapa gerangan itu. Astaga, pemuda
tadi! Mau apa dia? Aroma tubuhnya wangi sekali. Betah aku duduk di dekatnya.
Pakaiannya rapi, dengan kemeja berdasi tanpa jas. Ia pekerja kantoran, pikirku.
Usianya kira-kira dua puluh limaan. Masih muda. Ia pun juga tak merasa jijik
duduk di sampingku.
“Nama
kau siapa?” tanyanya membuatku terperangah.
“Eh,
aku Ulfa. Kakak ini siapa?” jawabku agak gugup.
“Aku
Irfan. Sudah lama kau mengamen di sini?”
“Lumayan,
Kak. Sejak aku berumur tujuh tahun,” kataku sambil mengusap peluh di kening.
“Sudah sekitar tiga tahunan,” lanjutku.
Aku
tidak lagi takut dengan orang yang belum aku kenal. Jalanan yang mengajariku
hal ini. Lingkungannya yang keras membentuk mentalku untuk tidak memiliki rasa
malu selagi aku tidak melakukan kesalahan.
“Berarti
sekarang umurmu sepuluh tahun? Lantas, kau tidak sekolah?”
“Uang
dari mana aku mau sekolah? Ibuku lumpuh, ayahku entah kemana. Bahkah, aku harus
menanggung hidup ibu dan adikku yang masih kecil, Kak,” paparku. Aku mulai
nyaman berbincang dengannya.
“Tapi
kau juga masih terlalu kecil untuk hidup seperti ini. Kau tinggal di mana?”
tanpa takut kotor, ia mengusap kepalaku.
“Ini
takdir, Kak. Aku harus protes kepada siapa? Aku tinggal di rumah kardus, bawah
jembatan tak jauh dari sini.”
“Kau
dapat berapa dari hasil ngamenmu seharian?”
“Yah,
tidak pasti. Kadang banyak, kadang sedikit. Lebih sedikit lagi ketika aku
tertangkap satpol PP dalam razia gepeng, Kak.”
Pemuda
itu mengusap mukanya. Sambil menghapus matanya yang berarir mungkin.
“Kau
mau sekolah?” tanyanya kemudian.
“Tentu
saja. Aku juga ingin berpenampilan cantik, rapi dan bekerja di tempat ber-AC seperti
Kakak,” aku girang sekali. “Tapi, siapa yang akan membiayai?” aku menunduk
dalam-dalam.
“Aku
yang bertanya padamu, dan konsekuensinya aku dong yang harus bertanggung jawab
atas pertanyaanku. Bukan itu saja, kau, ibu, dan adikmu boleh tinggal di rumah
Kakak untuk menemani Kakak. Kakak tinggal sendiri. Orang tua Kakak sudah lama
pergi,” nadanya sedikit merendah. “Kakak dulu besar di panti asuhan. Bisa
sekolah tinggi juga berkat orang baik yang bersedia menanggung seluruh
biayanya. Sejak itu, Kakak bertekad untuk tekun, berusaha membuktikan bahwa
hidup tak hanya berpihak pada orang-orang kaya dan berkuasa,” suaranya semakin
menghilang.
“Hah? Kakak tidak bohong? Apa itu tidak merepotkan
Kakak? Sungguh, aku tidak tahu harus berkata apa sekarang,” seketika aku
menangis. Suasana semakin haru ketika Kak Irfan memelukku. Untuk pertama
kalinya, aku merasa nyaman di tengah teriknya kota.
Sejak
kejadian itu, seminggu kemudian aku, ibu, dan adikku benar-benar tinggal di
rumah Kak Irfan. Awalnya ibuku tak mau menerima kebaikan Kak Irfan itu. Namun,
akhirnya ibu meleleh setelah mendengar penjelasan panjang dari Kak Irfan
sendiri. Dari penjelasan itu, aku baru tahu ternyata Kak Irfan adalah direktur
muda. Pantas saja, ia bersedia membiayai hidup keluargaku.
Kak
Irfan sungguh menganggap kami sebagai keluarga. Ia menyekolahkan aku dan
adikku. Di waktu luang kerjanya akhir minggu, tak jarang ia mengajakku dan
adikku pergi jalan-jalan. Kemana saja yang kami mau. Kak Irfan telah mengangkat
derajat keluargaku. Ia mambebaskan kami dari takdir hidup yang sulit.
Hingga
aku beranjak dewasa. Usiaku dua puluh tahun, Kak Irfan tiga puluh lima tahun.
Kuliahku sudah selesai, dan aku juga bekerja di kantor temapat Kak Irfan
bekerja. Itu juga karena berkat ketekunan dan prestasiku. Bukan karena
nepotisme yang sedang menjadi trending
topic media saat ini.
Seiring kebersamaanku dengan Kak Irfan,
layaknya remaja lain, aku menaruh rasa lebih padanya atas dasar kebaikan, dan
sifat-sifatnya yang membuatku kagum. Sesungguhnya, aku selalu mencoba membuang
jauh-jauh rasa itu. Ternyata, berperang dengan perasaan jauh menguras tenaga daripada
bertarung secara fisik.
Kak
Irfan pun belum menikah saat itu. Entahlah apa yang membuatnya menunda momen
sakral sekali seumur hidup tersebut. Sayang, aku tak pernah kuasa untuk
menyatakan perasaanku padanya. Aku menyadari itu tak pantas kulakukan.
Mencintai malaikatku sendiri. Macam tak tahu hutang budi saja jika demikian.
Hingga
akhirnya, Kak Irfan memutuskan untuk tinggal di London, mengejar mimpinya yang
lain. Termasuk bertemu dengan pendamping hidupnya. Aku masih sering berhubungan
dengannya melalui telepon, sosial media, dan SMS.
Aku
menatap dinding. Mengamati foto keluarga kecil Kak Irfan yang kudapat dari
kiriman surat elektroniknya setahun lalu. Sekarang umurku dua puluh lima, dan
aku belum juga mengakhiri masa lajangku. Pacar? Tentu saja aku punya. Mungkin
sebentar lagi ia akan melamarku. Aku bahagia dengan hidupku. Yang paling
membuatku tak percaya adalah aku mampu mengalahkan hatiku. Untuk tidak
mencintai malaikat hidupku sendiri. Biar, malaikat itu kini terbingkai indah di
dinding itu. Bersama pendamping hidupnya dan malaikat kecilnya.