Selasa, 28 Agustus 2012

Malaikat dalam Bingkai


Aku lelah hari ini. Seharian harus berkutat dengan urusan keuangan perusahaan. Mataku kering dan pedas berkat memelototi deretan angka yang harus kuhitung. Salah sedikit, mengulang lah sudah. Itulah pekerjaanku. Ketelitian dan kesabaranku harus kuforsir habis-habisan.

Kuhempaskan tubuh kurusku ke atas kasur empuk dalam kamarku. Tak ada gerakan berarti dari springbed berseprei ungu itu ketika kujatuhi. Ya, mungkin karena tubuhku yang terlalu enteng. Memang sejak dulu tubuhku tak bisa menggendut. Entahlah apa penyebabnya. Bawaan lahir? Atau keadaan yang membiasakanku. Saat itu juga, tak ayal pikiranku menembus awang-awang. Jauh, kira-kira lima belas tahun yang lalu.

Aku kecil, di perempatan lampu merah. Gadis sepuluh tahun yang kurus, hitam, baju lusuh. Jangan Tanya, rambut gimbal dan tubuhku tentu saja bau. Aku jarang mandi. Cuci muka pun bisa dihitung berapa kali. Tak jarang orang-orang di kota besar itu menutup hidung ketika berpapasan denganku. Ah, tak kuhiraukan perlakuan dan cibiran mereka. Yang terpenting obat untuk ibu bisa kubeli dan adik laki-lakiku tidak mengikatkan sarung lagi di perutnya.

Mengamen. Seharian bernyanyi dari satu mobil ke mobil lain. Sekedar untuk mengisi perut. Ibuku? Ia tak bisa apa-apa lagi. Kedua kakinya lumpuh karena peristiwa kecelakaan dua tahun lalu. Rumah kardus dengan lingkungan kumuh di kolong jembatan lah yang setia melindungi keluarga kami. Diapit gedung-gedung tinggi di kota metropolitan itu, membuatku merasa semakin “kecil”. Si kecil satu-satunya tulang punggung keluarga. Adikku masih terlampau kecil untuk kuajak mencari uang. Umurnya kira-kira lima tahun di bawahku.

Siang itu, seperti biasa. Kutelusuri jalanan dari rumah kardusku menuju perempatan tempatku mengamen. Terik sangat menusuk. Tapi, kulitku sudah kebal. Bukan masalah jika aku harus berlama-lama dihunjam sinar panas itu.

Traffic Light merah sedang menyala. Kudekati Toyota Rush hitam. Aku bernyanyi, dan pengemudi mobil itu pun memberiku selembar lima puluh ribuan. Aku kaget bukan kepalang. Banyak sekali pemuda tampan itu memberiku uang. Kutatapnya dengan wajah bingung. Agaknya ia mengerti maksudku. Lantas ia hanya mengangguk dan tersenyum. “Iya, semua buat kau,” demikian aku membaca raut itu. Memang, sejak dia melihatku pandangannya menjadi nanar. Diam-diam kuperhatikan roman mukanya. Aku pikir, pemuda tampan dalam mobil Rush itu menyimpan belas kasihan dengan keadaanku.

Sekarang, giliran lampu hijau menyala. Aku menyingkir ke trotoar. Menghitung isi kaleng bekas susu sambil menunggu merah menyala lagi. Tiba-tiba, ada yang duduk di sebelahku. Spontan aku menoleh, hendak tahu siapa gerangan itu. Astaga, pemuda tadi! Mau apa dia? Aroma tubuhnya wangi sekali. Betah aku duduk di dekatnya. Pakaiannya rapi, dengan kemeja berdasi tanpa jas. Ia pekerja kantoran, pikirku. Usianya kira-kira dua puluh limaan. Masih muda. Ia pun juga tak merasa jijik duduk di sampingku.

“Nama kau siapa?” tanyanya membuatku terperangah.

“Eh, aku Ulfa. Kakak ini siapa?” jawabku agak gugup.

“Aku Irfan. Sudah lama kau mengamen di sini?”

“Lumayan, Kak. Sejak aku berumur tujuh tahun,” kataku sambil mengusap peluh di kening. “Sudah sekitar tiga tahunan,” lanjutku.

Aku tidak lagi takut dengan orang yang belum aku kenal. Jalanan yang mengajariku hal ini. Lingkungannya yang keras membentuk mentalku untuk tidak memiliki rasa malu selagi aku tidak melakukan kesalahan.

“Berarti sekarang umurmu sepuluh tahun? Lantas, kau tidak sekolah?”

“Uang dari mana aku mau sekolah? Ibuku lumpuh, ayahku entah kemana. Bahkah, aku harus menanggung hidup ibu dan adikku yang masih kecil, Kak,” paparku. Aku mulai nyaman berbincang dengannya.

“Tapi kau juga masih terlalu kecil untuk hidup seperti ini. Kau tinggal di mana?” tanpa takut kotor, ia mengusap kepalaku.

“Ini takdir, Kak. Aku harus protes kepada siapa? Aku tinggal di rumah kardus, bawah jembatan tak jauh dari sini.”

“Kau dapat berapa dari hasil ngamenmu seharian?”

“Yah, tidak pasti. Kadang banyak, kadang sedikit. Lebih sedikit lagi ketika aku tertangkap satpol PP dalam razia gepeng, Kak.”

Pemuda itu mengusap mukanya. Sambil menghapus matanya yang berarir mungkin.

“Kau mau sekolah?” tanyanya kemudian.

“Tentu saja. Aku juga ingin berpenampilan cantik, rapi dan bekerja di tempat ber-AC seperti Kakak,” aku girang sekali. “Tapi, siapa yang akan membiayai?” aku menunduk dalam-dalam.

“Aku yang bertanya padamu, dan konsekuensinya aku dong yang harus bertanggung jawab atas pertanyaanku. Bukan itu saja, kau, ibu, dan adikmu boleh tinggal di rumah Kakak untuk menemani Kakak. Kakak tinggal sendiri. Orang tua Kakak sudah lama pergi,” nadanya sedikit merendah. “Kakak dulu besar di panti asuhan. Bisa sekolah tinggi juga berkat orang baik yang bersedia menanggung seluruh biayanya. Sejak itu, Kakak bertekad untuk tekun, berusaha membuktikan bahwa hidup tak hanya berpihak pada orang-orang kaya dan berkuasa,” suaranya semakin menghilang.

“Hah?  Kakak tidak bohong? Apa itu tidak merepotkan Kakak? Sungguh, aku tidak tahu harus berkata apa sekarang,” seketika aku menangis. Suasana semakin haru ketika Kak Irfan memelukku. Untuk pertama kalinya, aku merasa nyaman di tengah teriknya kota.

Sejak kejadian itu, seminggu kemudian aku, ibu, dan adikku benar-benar tinggal di rumah Kak Irfan. Awalnya ibuku tak mau menerima kebaikan Kak Irfan itu. Namun, akhirnya ibu meleleh setelah mendengar penjelasan panjang dari Kak Irfan sendiri. Dari penjelasan itu, aku baru tahu ternyata Kak Irfan adalah direktur muda. Pantas saja, ia bersedia membiayai hidup keluargaku.

Kak Irfan sungguh menganggap kami sebagai keluarga. Ia menyekolahkan aku dan adikku. Di waktu luang kerjanya akhir minggu, tak jarang ia mengajakku dan adikku pergi jalan-jalan. Kemana saja yang kami mau. Kak Irfan telah mengangkat derajat keluargaku. Ia mambebaskan kami dari takdir hidup yang sulit.

Hingga aku beranjak dewasa. Usiaku dua puluh tahun, Kak Irfan tiga puluh lima tahun. Kuliahku sudah selesai, dan aku juga bekerja di kantor temapat Kak Irfan bekerja. Itu juga karena berkat ketekunan dan prestasiku. Bukan karena nepotisme yang sedang menjadi trending topic media saat ini.

 Seiring kebersamaanku dengan Kak Irfan, layaknya remaja lain, aku menaruh rasa lebih padanya atas dasar kebaikan, dan sifat-sifatnya yang membuatku kagum. Sesungguhnya, aku selalu mencoba membuang jauh-jauh rasa itu. Ternyata, berperang dengan perasaan jauh menguras tenaga daripada bertarung secara fisik.

Kak Irfan pun belum menikah saat itu. Entahlah apa yang membuatnya menunda momen sakral sekali seumur hidup tersebut. Sayang, aku tak pernah kuasa untuk menyatakan perasaanku padanya. Aku menyadari itu tak pantas kulakukan. Mencintai malaikatku sendiri. Macam tak tahu hutang budi saja jika demikian.

Hingga akhirnya, Kak Irfan memutuskan untuk tinggal di London, mengejar mimpinya yang lain. Termasuk bertemu dengan pendamping hidupnya. Aku masih sering berhubungan dengannya melalui telepon, sosial media, dan SMS.

Aku menatap dinding. Mengamati foto keluarga kecil Kak Irfan yang kudapat dari kiriman surat elektroniknya setahun lalu. Sekarang umurku dua puluh lima, dan aku belum juga mengakhiri masa lajangku. Pacar? Tentu saja aku punya. Mungkin sebentar lagi ia akan melamarku. Aku bahagia dengan hidupku. Yang paling membuatku tak percaya adalah aku mampu mengalahkan hatiku. Untuk tidak mencintai malaikat hidupku sendiri. Biar, malaikat itu kini terbingkai indah di dinding itu. Bersama pendamping hidupnya dan malaikat kecilnya.

Minggu, 26 Agustus 2012

Beling-Beling yang Berburai

Beranjak, buru-buru. Beling terjungkal, terjatuh, terinjak, dan pecah berburai. Bahkan, sandal pun akan tertembus karena tajamnya. Luka? Siapa peduli? Ini hidupku, dan mereka tak perlu tahu (tak mau tahu tepatnya). Terus mengucur, lantas meninggalkan jejak bercak merah. Tetap saja, tak ada yang mau membersihkan. Justru dibiarkan menghitam.

Kuteruskan melangkah. Lebih cepat, dan semakin cepat. Tentu semakin berdarah dan perih. Namun, takut kehilangan intaian. Entahlah, tekad selalu membulat untuk menjangkaunya.

Rintihan tak ada lagi yang mendengar. Raut kesakitan tak ada lagi yang melihat. Menyentuh? Lalu bertanya? Ketahuilah, mereka dengan sengaja memagariku. Berlalu lalang di balik pagar itu, menutup telinga, memejamkan mata, dan menyumpal mulut!

Sudah, akan tetap kulanjutkan. Dengan beling-beling yang jatuh tak terhenti, kemudian tercecer membuka perih. Tentang mereka? Peduli apa?

Sabtu, 04 Agustus 2012

Sepucuk Surat Air Mata


 
 Sepucuk surat, dari ibu dan ayah

Anakku,

Ketika aku semakin tua, aku harap kamu dapat memahami dan bersabar untukku.
 
Ketika aku memecahkan piring, atau menumpahkan sup di atas meja karena penglihatanku yang semakin berkurang, aku berharap kamu tidak memarahiku.

Orang tuamu ini sensitif, selalu merasa bersalah saat kamu berteriak.

Ketika pendengaranku semakin memburuk, dan aku tak bisa mendengar apa yang kamu katakan, aku harap kamu tidak memanggilku “Tuli!”. Mohon ulangi apa yang kamu katakan, atau menuliskannya
.
Maaf, Anakku..

Aku semakin tua.. ketika lututku semakin melemah, aku berharap kamu bersabar untuk membantuku bangun. Sebagaimana aku membantumu belajar berjalan ketika kamu masih kecil.

Aku mohon, jangan bosan denganku.. Ketika aku terus mengulangi apa yang kukatakan seperti kaset rusak, aku harap kamu terus mendengarkanku. Tolong jangan mengejekku dan merasa risih mendengarkanku.

Apakah kamu ingat ketika kamu masih kecil dan menginginkan sebuah balon? Kamu mengulanginya berulang-ulang dan terus mengulanginya sampai kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan.

... Maafkan juga bauku. Tercium seperti orang yang sudah tua. Aku mohon jangan memaksaku untuk mandi. Tubuhku lemah, orang tua mudah sakit karena rentan terhadap dingin. Aku harap, aku tidak terlihat kotor di hadapanmu..

Apakah kamu ingat ketika kamu masih kecil? Aku selalu mengejarmu, karena kamu tak mau mandi.

Aku harap kamu bisa bersabar untukku, ketika aku selalu rewel. Ini semua bagian dari orang tua. Kamu akan merasakannya jika kamu tua nanti.

Dan ketika kamu memiliki waktu luang, aku harap kita bisa berbicara, mengobrol. Hanya untuk beberapa menit saja. Aku selalu sendiri setiap waktu dan tak memiliki seorang pun utuk kuajak berbicara.

Aku tahu kamu sibuk dengan pekerjaan. Bahkan, jika kamu tidak tertarik dengan ceritaku, aku mohon, beri aku waktu untuk bersamamu.

Apakah kamu ingat ketika kamu masih kecil? Aku selalu mendengarkan apa yang kamu ceritakan tentang mainan-mainanmu.

Ketika saatnya tiba. Dan aku hanya bisa terbaring sakit dan sakit, aku harap kamu memiliki kesabaran untuk merawatku.

MAAF.. Jika aku mengompol dan membuat berantakan. Aku harap kamu bersabar untuk merawatku. Selama beberapa waktu, saat-saat terakhir dalam hidupku.

Aku mungkin takkan bertahan lebih lama. Ketika waktu kematianku datang, aku berharap kamu memegang tanganku dan memberiku kekuatan untuk menghadapi kematian.

Dan jangan khawatir... Ketika aku bertemu Sang Pencipta, aku akan berbisik pada-Nya, untuk selalu menjagamu, memberkahimu. Karena, kamu mencintai ibu dan ayahmu.

Terima kasih atas segala perhatianmu, Nak. Kami mencintaimu....

                                                                                                Dengan segenap cinta,
                                                                                   
                                                                                                Ibu dan Ayah
--------------------------------------------------------------------------------------------
Sepucuk surat, untuk ibu dan ayah

Ibu, Ayah..

Aku selalu berusaha bersabar untukmu. Meski kadang aku mengeluh, sabar tetap menjadi yang utama.

Aku takkan marah ketika kalian menumpahkan sup, atau memecahkan piring. Aku tahu kalian tak melakukannya dengan sengaja. Berbeda dengan ketika aku masih kecil. Justru sengaja membanting gelas yang kupegang karena aku merasa sebal pada kalian.

Aku juga takkan bosan mengatakan dan mangulangi apapun yang belum kau pahami. Anggap saja balas budi, karena dulu kamu mengajarkan banyak hal, mengulanginya berulang kali sampai aku menemukan pemahaman hidup yang baik.

Maaf, Ayah, Ibu..

Aku telah merepotkanmu untuk mengajariku berjalan dulu. Sudah kewajibanku kini menuntunmu dan membantumu bangun.

Sekali lagi, aku takkan bosan denganmu. Meski kau mengulangi kata-katamu puluhan kali, bagiku tak ada bedanya dengan dulu. Ketika kau membacakan sebuah buku cerita untukku setiap malam, berulang kali, sampai aku terlelap.

Kalian tak pernah terlihat kotor di mataku. Aku memaksamu untuk mandi, karena aku ingin kalian selalu sehat. Iya, mungkin caraku yang salah. Maafkan aku..

Sebisa mungkin, aku akan meluangkan waktu untuk kalian. Barang sebentar, aku akan menemani kalian. Aku juga tak ingin kalian merasa kesepian. Karena aku juga merasakan, kesepian itu tidak ada enaknya. Aku akan selalu bersama kalian..

Aku tak pernah berharap demikian. Aku ingin kalian selalu sehat. Terhindar dari penderitaan sakit. Namun, jika itu memang harus terjadi atas kehendak-Nya, aku berjanji, aku akan menjadi obat kalian yang paling manjur. Menjadi semangat kalian untuk bertahan.

Segalanya untukmu, Ayah, Ibu. Jika boleh, aku akan meminta pada Tuhan untuk tidak memisahkan kita, membuatmu hidup lebih lama. Namun, apapun alasannya, itu pasti terjadi. Akan kugenggam erat tanganmu, dan berbisik meyakinkanmu, bahwa suatu saat nanti kita akan bertemu lagi, di tempat yang berbeda dan lebih baik tentunya.

Terima kasih, Ayah, Ibu. Ketulusanmu membuatku menangis saat ini. Saat aku membalas surat kalian ini. Aku juga akan selalu berdoa untuk kalian dalam setiap shalatku, agar kalian mendapat kebahagiaan di mana pun kalian berada. Karena kalian telah mencintaiku dengan penuh ketulusan.

Terima kasih juga untuk segala pengorbananmu Ayah, Ibu. Aku mencintaimu..

                                                                                                Dengan segenap cinta,

                                                                                                            Anakmu

Kamis, 02 Agustus 2012

Tentang Aku...

Aku, bagaikan air sungai yang mengalir mencari hulu. Mengikuti alur, bergerak stagnan tanpa melawan kerasnya bebatuan melintang. Demi mencari muara hatimu.

Aku, bagaikan payung. Takkan membiarkanmu sakit karena kebasahan, atau pingsan berkat terik. Tugasku menjagamu, layaknya kau melindungiku sampai detik ini.

Aku, layaknya manusia pada umumnya. Akan mati tanpa detak jantung. Terang saja darahku akan berhenti, membeku lantas nyawaku ikut pergi. Iya, kamu detak jantungku.

Aku, pembual paling ulung di muka bumi. Sudah banyak bualan-bualanku yang terlontar. Demi melihat kerianganmu. Sama halnya denganmu yang selama ini goreskan kuas, melukis tawa di bibirku.

Aku, tak beda halnya dengan ajian hitam rawa rontek. Hatiku lebih tepatnya. Meski kau pecahkan, kau patahkan, akan senantiasa kembali utuh dengan sendirinya. Patah lagi? Akan utuh lagi. Bukannya tidak bosan, tapi sembuhnya luka itu adalah bahagia paling menyenangkan.

Aku, perempuan munafik. Terlalu sering berkata 'iya' meski tidak, dan berbilang 'tidak' meski iya. Tentu saja di depanmu. Siapa lagi yang rela berbuat apapun demi kau selain ibumu, ayahmu, dan aku?

Aku, entahlah. Terserah siapa pun ingin beramsumsi. Baik? buruk? Yang jelas, tentang aku adalah kau. Dan aku adalah tentang kau. :)