Senin, 12 Desember 2016

Resensi Buku Tere Liye "Tentang Kamu"


   Thompson & Co., sebuah firma hukum yang berdiri takzim di Belgrave Square, London. Firma hukum ini sama sekali tidak megah, tidak glamor, namun namanya selalu disebut dengan penuh kehormatan. Hanya pengacara-pengacara terbaik yang bisa bekerja di firma hukum ini. Dan, Zaman, adalah satu diantaranya.
      
Zaman Zulkarnaen. Pemuda asal Indonesia berusia 30 tahun, salah satu “ksatria” terbaik yang dimiliki oleh Thompson & Co. Bukan. Buku ini sama sekali bukan tentang kehidupan pribadi Zaman, apalagi menceritakan kisah cintanya. Bahkan tentang asmara Zaman hanya dibahas tidak lebih dari satu bab saja dari keseluruhan 33 bab buku ini.
      
Kisah dimulai ketika salah satu klien Thompson & Co. wafat di Paris. Meninggalkan warisan sebesar satu miliar poundsterling, atau setara dengan 19 triliun rupiah, dalam bentuk saham.

Adalah Sri Ningsih. Meninggal pada usia 70 tahun. Wanita pemegang paspor Inggris dan izin menetap di Perancis. Sayangnya, klien ini belasan tahun terakhir menghabiskan hari-harinya di panti jompo. Ya, orang kaya raya ini melewati masa tuanya di tempat yang tidak semestinya ia berada. Mengingat harta yang ditinggalkannya sekian besar, bahkan ia bisa hidup di rumah atau apartemen mewah dan serba berkecukupan. Namun, tidak demikian bagi Sri Ningsih.
      
Sri Ningsih kecil tidak lain adalah anak seorang nelayan dari Pulau Bungin, Sumbawa. Ibunya, Rahayu, meninggal ketika melahirkannya. Ayahnya, Nugroho, kemudian menikah lagi dengan Nusi Maratta, perempuan asli Pulau Bungin. Sri hidup bahagia dengan keluarga barunya. Nugroho dan Nusi begitu menyayanginya. Sayangnya, semua harus berakhir ketika Nugroho tak kunjung pulang dari melaut berhari-hari. Hingga kabar itu datang, Nugroho tenggelam tanpa ditemukan jasadnya. Kedua kalinya, Sri harus kehilangan orang yang begitu berarti dalam hidupnya.
       
Kematian Nugroho membuat Nusi Maratta berubah watak 180 derajat. Jangankan menyayangi Sri seperti dulu. Bahkan, Nusi menganggap Sri adalah anak pembawa sial. Ia tega menyuruh-suruh Sri yang baru berusia belasan tahun untuk mencari teripang dan bulu babi yang nantinya akan dijual. Hasilnya digunakan untuk keperluan sehari-hari. Sri juga harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tanpa terkecuali. Tak jarang Sri harus tidur di teras bersama tampias hujan atau tak dapat jatah makan hanya karena kesalahan kecil, yang terkadang sebenarnya tidak ia perbuat. Namun, Sri menjalaninya dengan ikhlas karena bagaimanapun ia tetap menyayangi Nusi dan Tilamuta, adik tirinya yang masih balita. Bagi Sri, tinggal mereka berdua harta terbesar yang ia miliki.
      
Musibah tampaknya masih enggan berhenti menguji hidup Sri Ningsih. Sri melihat rumahnya terbakar ketika ia pulang dari makam Rahayu di pulau seberang. Ia bergegas menyelamatkan Nusi dan Tilamuta. Ia pertaruhkan nyawanya saat itu. Sayangnya, lagi-lagi, Sri harus kehilangan. Nusi tak berhasil ditolong. Namun, baginya harus tetap ada yang patut disyukuri di balik musibah apapun. Sri masih punya Tilamuta. Tilamuta selamat dan kini menjadi harta satu-satunya yang dimiliki Sri.

Sri dan Tilamuta hidup menumpang sana-sini, terlunta sejak kecil. Bagaimana bisa Sri lantas berkeliling dunia? Bagaimana mungkin ketika ia wafat meninggalkan warisan yang bernilai fantastis? Bahkan, nyaris setara dengan kekayaan Ratu Inggris.
      
Dan, Zaman, sebagai junior lawyer yang baru bekerja kurang lebih empat tahun di Thompson & Co., dituntut untuk melakukan settlement atas kasus ini dengan seadil-adilnya. Menyusun puzzle sepotong demi sepotong kehidupan Sri Ningsih. Menelusuri 70 tahun ke belakang kehidupan Sri Ningsih untuk menemukan siapa yang berhak atas warisan yang ia tinggalkan. Mengunjungi tiga negara, lima kota, untuk menemukan beribu luka seorang Sri Ningsih. Jika Zaman berhasil atas kasus ini, jabatan lebih tinggi akan didudukinya. Namun, sungguh, bukan itu tujuan Zaman menerima kasus ini. Sama sekali bukan.
     
Dari petualangannya menguak kehidupan Sri, Zaman berkenalan dengan banyak orang baik tanpa pernah menemui mereka secara langsung. Nuraini, keluarga Kiai Maksum, Hakan, keluarga besar panti jompo, dan keluarga Rajendra Khan. Juga orang-orang bertabiat buruk yang bahkan kejahatannya terhadap Sri dapat pula Zaman rasakan meski ia hanya tahu melalui cerita saksi-saksi kunci. Mbak Lastri, Mas Musoh. Dan berkat kasus ini juga, Zaman bertemu dengan Madame Aimee, cintanya. Tentu, harus membaca buku ini untuk mengenal mereka satu per satu.
      
Buku ini bicara banyak tentang tiga hal besar. Pertama, kesabaran yang tiada henti akan membawa kebahagiaan pada waktunya. Kesabaran yang tidak pernah putus akan membuat hati jauh lebih tenang dan terhindar dari dengki dendam. Kedua, prinsip hidup yang kokoh meski dihajar musibah sedemikian banyak dan berat. Dan terakhir, tekad kuat dan kejujuran. Ketiganya akan beriringan mengantar siapapun pada mimpinya. Bahkan mimpi yang kata orang mustahil sekalipun.
      
Tere Liye sangat cerdik menempatkan setiap alur kisah ini. Pertanyaan sekaligus jawabannya akan muncul silih berganti sepanjang membaca buku ini. Gaya bercerita khas Tere Liye yang teramat mendetail dan mengalir membuat pembaca seperti benar-benar menyelam dalam cerita. Seakan benar-benar sedang di Paris bersama Sri, sedang naik bus merah khas London yang dikemudikan Sri, sedang ikut Sri menyikat kakus pesantren, seperti ikut kemana pun Sri Pergi. Kalimat yang digunakan pun sederhana, namun sarat emosi dan cukup membuat pembaca mengangguk kemudian terpejam membenarkan berkali-kali.
       
Membaca buku ini sedikit banyak membuka hati dan pikiran, bahwa hidup harus selalu disyukuri. Semenyakitkan apapun, hidup akan mengobati setiap luka-luka yang dirawat oleh pemiliknya. Sebanyak apapun kehilangan, hidup akan tetap berpihak pada hati-hati yang ikhlas. Hidup akan membela siapapun yang benar. Hidup akan menempa siapapun yang senantiasa sabar.

Sabtu, 11 Juni 2016

Kemutlakan Tuhan Bernama 'Perpisahan'

Perpisahan. Sebuah kata benda yang banyak disumpahi orang-orang. Termasuk aku. Yang begitu membenci kemutlakan Tuhan yang satu ini. Iya, aku benci.

Perpisahan. Pernah membuatku perlahan berbisik kepada Tuhan selepas solat dhuhur di belakangmu. Untuk lebih lama memberhentikan matahari, meski hanya beberapa detik. Doa ketidakmungkinan yang dilontarkan dengan ketidakwarasan. Karena ketidaksanggupanku menerima kenyataan mengapa pertemuan kita terasa begitu singkat. Ah!

Perpisahan. Pernah membuatku diam-diam berdoa di boncenganmu. Meminta kepada Dzat Yang Maha Berhak untuk mengulur-ulur waktu. Memohon kepadaNya agar ada pertemuan-pertemuan berikutnya. Hingga akhirnya sampai pada titik pertemuan tanpa perpisahan apapun selain permintaan pulang dariNya.

Perpisahan. Pernah membuatku menyuruhmu lekas-lekas pergi dari hadapanku. Karena sejenak logikaku tidak siap dengan perpisahan yang sebentar lagi mengakhiri kebersamaan kita. Aku malu jika kau harus melihatku menangis. Aku tidak ingin kerapuhanku terbongkar olehmu. Aku sungguh, tidak sanggup menahan apapun yang ingin tumpah saat itu. Maka, aku menyuruhmu segera meninggalkanku sebelum pertahananku runtuh untuk tidak menyesali apapun.

Perpisahan. Pernah membuatku menangis sejadi-jadinya di stasiun. Bahkan, dalam gerbong kereta api yang membawa tubuhku semakin menjauhimu kala itu. Sepanjang ular besi melaju, menyelesaikan jarak tempuhnya, selama itu aku tak berhasil memberhentikan air mataku.

Perpisahan. Sejak saat itu, hingga saat ini, selalu, menyemai tunas-tunas rindu yang makin hari makin bertumbuh. Semakin merimbun ketika perpisahan yang tak kunjung disambut lagi dengan pertemuan.

Seseorang yang pernah menemaniku melepas senja, aku teramat kangen. Harus bagaimana aku? Bahkan pengalihan apapun tak sanggup meredakan gemuruh tak tahu diri ini. Tidak ada yang lain, yang bisa kulakukan. Selain menangis, merengek sebuah pertemuan lewat doa, juga meruntuki perpisahan, dan memakinya habis-habisan.