Minggu, 17 Februari 2013

Ada yang Selalu Hidup; Sapardi Djoko Damono :)

AIR SELOKAN
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

"Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit," katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalanjalan bersama istrimu yang sedang mengandung
-- ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu:
"Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu -- alangkah indahnya!"
Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

AKU INGIN
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

AKULAH SI TELAGA
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
-- perahumu biar aku yang menjaganya

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

ANGIN, 1
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari sudut ke sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar suara nabi kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, "hei siapa ini yang mendadak di depanku?"
angin itu tersentak kembali ketika kemudian terdengar jerit wanita untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi
-- sampai pagi tadi:
ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa scorang diri di tengah bising-bising ini tanpa Hawa

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

ANGIN, 2
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar semalaman.
Seekor ular lewat, menghindar.
Lelaki itu masih tidur.
Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

ANGIN, 3
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

"Seandainya aku bukan ......
Tapi kau angin!
Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar,
menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.
"Seandainya aku . . . ., ."
Tapi kau angin!
Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.
"Seandainya ......
Tapi kau angin!
Jangan menjerit:
semerbakmu memekakkanku.

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan

CARA MEMBUNUH BURUNG
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita belum dilahirkan itu?
soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu (ah dunia di antara bingkai jendela!)
soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian
soalnya ia baka

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

HATIKU SELEMBAR DAUN
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

KEPOMPONG ITU
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau menutup jendela waktu hari hujan
kepompong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan bau bunga
dan kepompong itu hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia menjelma kupu-kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

KETIKA MENUNGGU BIS KOTA, MALAM-MALAM
Oleh :
Sapardi Djoko Damono

"Hus, itu bukan anjing; itu capung!" katanya. Tapi capung tak pernah terbang malam, bukan? Capung tak suka ke tempat sampah
-- biasanya ia hinggap di ujung daun rumput waktu pagi hari,
dan kalau ada gadis kecil akan menangkapnya ia pun terbang ke balik pagar sambil mendengarkan suara "aahh!" Tubuhnya mungil, bukan?
Sedangkan yang kulihat tadi jelas anjing kampung yang ekornya buntung, menjilatjilat tempat sampah yang di seberang halte itu, mengelilinginya,
lalu kencing di sudutnya.
Hanya saja, aku memang tak melihat ke mana gaibnya.
"Itu capung!" katanya. Sayang sekali bahwa kau merasa tak melihat apa pun di seberang sana tadi.

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

KISAH
Oleh :
Sapardi Djoko Damono

Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak di plat alumunium itu. Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi.
Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.
Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

KUKIRIMKAN PADAMU
Oleh :
Sapardi Djoko Damono

kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,
par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.
Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka.
Namun ada.

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

KUTERKA GERIMIS
Oleh :
Sapardi Djoko Damono

Kuterka gerimis mulai gugur
Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku
sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu
Seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu
Seperti badai rintik-rintik yang di luar itu

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

LIRIK UNTUK LAGU POP
Oleh :
Sapardi Djoko Damono

jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis
-- pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring!); swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!)
aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut
-- nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!)
aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek
-- ketika hutan mendadak gaib
jangan pejamkan matamu:

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

MATA PISAU
Oleh :
Sapardi Djoko Damono

mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu

DI SEBUAH HALTE BIS
Oleh :
Sapardi Djoko Damono

Hujan tengah malam membimbingmu ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana. Kau memang tak pernah berumah, dan hujan tua itu kedengaran terengah batuk-batuk dan tampak putih.
Pagi harinya anak-anak sekolah yang menunggu di halte bis itu melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk. Bis tak kunjung datang. Anak-anak tak pernah bisa sabar menunggu. Mereka menjadi kesal dan, bagai para pemabok, berjalan sempoyongan sambil melempar-lemparkan buku dan menjerit-jerit menyebut-nyebut namamu.

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

PERAHU KERTAS
Oleh :
Sapardi Djoko Damono

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
"Ia akan singgah di bandar-bandar besar," kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
"Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit."

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

PESAN
Oleh :
Sapardi Djoko Damono

Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya.
Kami saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.
Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan .....

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

PESTA
Oleh :
Sapardi Djoko Damono

pesta berlangsung sederhana. Sedikit tangis, basa-basi itu; tinggal bau bunga gemetar pada tik-tok jam, ingin mengantarmu sampai ke tanah-tanah sana yang sesekali muncul dalam mimpi-mimpinya
. . . di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

TUAN
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

SAJAK SUBUH
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, "Jangan bermimpi!" dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
"Jangan bermimpi!" gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, "Jangan bermimpi! "
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan .....

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

SAJAK TELUR
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung
semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin
memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai
merindukan telur

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

SETANGAN KENANGAN
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setangan di lorong yang berlumpur itu. Soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepar- gelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana ....

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

SIHIR HUJAN
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.



SUDAH KUTEBAK
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Sudah kutebak kedatanganmu. Seperti biasanya,
kau berkias tentang sepasang ikan yang menyambar-nyambar umpan sedikit demi sedikit,
menggosok-gosokkan tubuh di karang-karang,
menyambar, berputar-putar membuat lingkaran,
menyambar, mabok membentur batu-batuan.
Kutebak si pengail masih terkantuk-kantukdi tepi sungai itu.
Sendirian.

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
TAJAM HUJANMU
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

tajam hujanmu
ini sudah terlanjur mencintaimu:
payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,
air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu,
aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang buram berair kacanya,
dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan
deras dinginmu
sembilu hujanmu

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.


TEKUKUR
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Kautembak tekukur itu. Ia tak sempat terkejut, beberapa lembar bulunya lepas; mula-mula terpencar di sela-sela jari angin, satu-dua lembar sambar-menyambar sebentar, lalu bersandar pada daun-daun rumput. "Kena!" serumu.
Selembar bulunya ingin sekali mencapai kali itu agar bisa terbawa sampai jauh ke hilir, namun angin hanya meletakkannya di tebing sungai. "Tapi ke mana terbang burung luka itu?" gerutumu.
Tetes-tetes darahnya melayang : ada yang sempat melewati berkas- berkas sinar matahari, membiaskan wama merah cemerlang, lalu jatuh di kuntum-kuntum bunga rumput.
"Merdu benar suara tekukur itu," kata seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di sana; ia merasa tiba-tiba berada dalam sebuah taman bunga.

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

TELINGA
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

"Masuklah ke telingaku," bujuknya.
Gila
ia digoda masuk ke telinganya sendiri
agar bisa mendengar apa pun
secara terperinci -- setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis
yang menciptakan suara.
"Masuklah," bujuknya.
Gila ! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

TENTANG MATAHARI
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
sedang kau bersetubuh,
adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata :
"Ini matahari! Ini matahari!"
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.

YANG FANA ADALAH WAKTU
Oleh :

Sapardi Djoko Damono

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

Jumat, 15 Februari 2013

Menyatakan yang Samar-Samar

Kau yang selalu ingin kususun dalam serangkaian angan yang tadinya membuyar. Tidak sulit. Sangat mudah ketika aku tinggal meletakkan satu per satu kisah dalam setiap tangga periode. Seperti halnya nahkoda berlayar yang bebas membuang sauhnya di mana pun, kapan pun, juga aku yang dengan semauku sendiri hendak meletakkan setiap kisah itu bagaimana urutannya.

Kemudian bagaimana nasib kisah-kisah yang sudah kurangkai sedemikian indah, kusutradarai sendiri dengan alur yang selalu membahagiakan? Tetap tak ada enak-enaknya jika hanya sekadar angan. Tugasku selanjutnya adalah mewujudkan kisah-kisah itu. Dengan mempertahankan setiap butirnya agar tetap berada pada singgasananya. Agar tak terpeleset, lalu terjatuh.

Ah! Inilah bagian sulit! Merawat angan, menyatakan yang samar-samar.

Selasa, 12 Februari 2013

Belum Mati, Sudah Mati

Ada yang perih
entah bagian mana, ada yang robek

Ada yang ngilu
entah sebelah mana, ada yang lebam

Ada yang mengaduh!
entah di mana, ada yang terkapar

Jiwa, selembar, merapal mantra sebuku
perongrong menggerayang setubuh
pilu membawa sembilu

Tak disangka!
belum mati, tapi sudah mati

Senin, 11 Februari 2013

Selamanya, Perempuan Terhebat di Hati Ayah; Ibumu

Ibumu perempuan hebat, Nak. Ayah sungguh tak pernah bisa membuat hatinya terluka. Satu-satunya yang mampu meluluhkan hati Ayah adalah ibumu meskipun seringkali Ayah dibuatnya mengkal. Tapi, ketika Ayah hendak marah, lantas tak sengaja menatap matanya, Ayah memutuskan untuk urung. Pandangannya selalu sendu. Selalu penuh kesabaran dan keikhlasan.

Dulu, waktu kau masih bayi, Ayah sering berpikir, betapa kokohnya lengan ibumu. Setiap saat selalu menggendongmu. Tak kenal lelah, tak mau melepasmu dari pelukannya barang sedetik.

Kemudian ketika kau balita hingga kau menginjak usia sekolah, Ayah berasumsi, betapa gigihnya hati ibumu. Ia berusaha keras mengajarimu berjalan. Membantumu bangun ketika jatuh. Mengajarimu berbicara dan mengenal benda-benda di sekitarmu. Sungguh, ibumu takkan pernah berhenti melakukan hal itu sampai kau benar-benar bisa.

Ibumu selalu membangun pemahaman-pemahaman baik padamu. Harapannya adalah agar kau mampu bertanggung jawab atas dirimu sendiri. Berharap agar kau menjadi manusia yang kehadirannya diharapkan banyak orang.

Hingga saat kau remaja. Ibumu tetap sama. Perhatiannya tak pernah berubah padamu, juga pada Ayah. Bahkan, tak jarang ia melalaikan tubuhnya sendiri demi kita. Lembut hatinya membuat Ayah begitu mencintainya.

Dan kau tahu, Nak, apa yang membuat Ayah merasa begitu kecil? Membuat Ayah merasa seperti tak berguna? Iya, ketika melihat ibumu menangis. Bagai bidadari yang lelah, sayapnya terlepas dengan sendirinya.

Sebab banyak hal itulah Ayah tak berani sedikitpun menyakiti hati perempuan, terutama ibumu. Banyak pengorbanan yang Ayah pun tak bisa melakukannya.

Selamanya, perempuan terhebat di hati Ayah; Ibumu.