Rabu, 26 September 2012

Menunggu Hujan

 
"Apa yang kaulakukan di sini, Nona?"
"Oh, aku sedang menunggu.."
"Menunggu siapa gerangan?"
"Hujan..."
"Ini musim kemarau, Nona. Hujan masih lama"
"Lantas?"
"Mungkin kau akan bosan berlama-lama di pinggir danau ini. Hanya diam, melamun, dan kau lihat, sekelilingmu sepi"
"Tidak, hujan sebentar lagi datang"
"Kau tidak mengamati langit? Begitu cerahnya ia. Mustahil untuk hujan"
"Kenapa kau menebak seenaknya? Itu urusan Tuhan."
"Tapi Nona, aku tak tega melihatmu sendirian di sini. Hutan ini banyak binatang buasnya"
"Aku sudah berkawan dengan mereka"
"Semakin tidak mengerti dengan yang kau maksud, wahai Nona cantik"
"Itulah laki-laki. Mana ada mereka yang benar-benar menganalogikan perasaan? Ketika hanya logika yang didewakan, banyak yang menangis, tersakiti di balik itu. Bahkan, lebih sakit dari luka bekas terkaman binatang buas. Lelah? Iya. Lebih lelah dibanding menunggu hujan di musim kemarau. Paham kau sekarang wahai pria yang bijaksana?"

Senin, 24 September 2012

Kesekian Untukmu

Maaf, jika aku tak pernah bosan menulis tentangmu. Mengatakan apa saja, perasaanku, lebihmu, dan semuanya. Aku terlanjur memasang lukaku sendiri. Untuk memmbayangkanmu, berimajinasi tentangmu. Tak pernah habis rasanya. Banyak hal yang ingin kudeskrepsikan, kunarasikan dari sisi hidupmu.

Maaf, jika aku kebanyakan berharap. Tapi siapa yang melarangnya? Aku hanya mengikuti perasaanku. Aku lebih nyaman menguntit alirannya. Dia mengajakku tersenyum, memaksaku menagis, dan memintaku bersabar.

Maaf, jika aku membuatmu risih. Tapi kau seharusnya mengerti. Tentang perasaan perempuan, tentang "cinta yang dimilikinya". Setidaknya, kau bersikap biasa saja itu sudah cukup. Perempuan akan sangat sakit jika kau diam, menganggapnya hanya lalu.

Maaf, jika aku berlebihan mengutarakan ini. Ketahuilah, aku menganggapmu sebagian dari pikiranku. Artinya, yang selalu menemaniku dalam apapun yang kulakukan. Sungguh, aku sulit menyusun kata untuk menyentuh kepekaanmu. Menghidupkan perasaanmu... Ah, sulit!!

Maaf, jika aku terlalu banyak meminta. Memintamu untuk sedikit memerhatikanku, meminta ini itu dan yang lain-lain. Boleh aku meminta satu lagi? Buka instrumen lagu ini, dengarkan sambil baca tulisan ini berkali-kali. Pahami, gunakan logikamu. Aku selalu merasa tenang dengan lagi ini. sambil membuka pikiran untukmu, aku semakin terhanyut. Bahkan, menangis. Aku tak bisa lagi berbuat apapun. Kecuali kau yang memulai.

Aku, tak bisa tanpamu...

Dariku,

Di Bawah Luka Sabit

                                                                       
berceritalah, Sabit
tentang lukamu, laramu
menyadap pekat ke inti hati
ngilu, sesak untuk bernapas

aku sepertimu
lunglai, terombang-ambing bebas
kusut masai
sesekali kau mendengarnya menggurindam

mendadak pasai
bersembunyi di balik renah
menggigil, menggigit bibir, dan tangis memijar

takut?
iya, sangat takut
tetiba tertimpa reruaian ranting
atau terpental keras ke tengah rua

itu akar dari luka?
bukan, tapi jantung yang membeku
jiwa yang sayup-sayup

Jumat, 21 September 2012

Untukmu Mengenalku, dan Untukku Mengenalmu dengan Cara Kita Masing-masing

biar kusentuh pipimu.
menghafal, agar aku tak pernah lupa guratan senyum yang meninggalkan sedikit lesung.

paksa aku menatap matamu.
melihat, sedalam apa bola hitam itu mengenalku.

izinkan kuraba bibir dan dadamu.
memastikan, bagaimana korelasi keduanya yang sejujurnya.

boleh kugenggam pergelangan tanganmu?
hanya ingin tahu, secepat apa nadi itu berdetak saat kau bersamaku.

tersenyumlah lebih lama di depanku.
biar aku percaya, bahwa sabit paling indah adalah bagian dari wajahmu.

kudengar suaramu.
aku yakin, ada merpati yang menangis iri di belakangmu.

bersajaklah (lagi) untukku.
sampai kata-kata di bumi ini habis kau pakai
sungguh, aku tenggelam dalam sonetamu..


ketika suatu hari nanti kau mulai membuka hatimu, maka aku masih tetap tergugu dibawah pintunya. bukan untuk memarahimu yang telah membuatku menunggu lama, menahan dingin, terik, dan mendengar kata-kata yang menyakitkan telinga. tapi, untuk tersenyum lantas memelukmu. karena di situ lah letak cinta, pengorbanan, dan penantian panjang. anggap saja itu masa transisi, untukmu mengenalku, dan untukku mengenalmu dengan cara kita masing-masing.

Selasa, 18 September 2012

Aku Berharap Padamu...

Siang ini, di luar memang terik. Dan kau tahu? Hatiku lebih kerontang. Dan tiba-tiba.. Sungguh, aku tak habis pikir. Baru kali ini perasaanku menyudut ke arahmu secara reflek. Tak terduga semua tentangmu melintas semrawut di atas kepalaku.. Tolong beri tahu aku!! Ada apa?????

Tumbenan aku merasa penasaran tak karuan seperti ini. Jarang, aku benar-benar ingin tahu apa yang terjadi padamu. Yah, sejak beberapa jam yang lalu. Jantung, dan hati berdetak bersahutan. Seolah memberi pertanda atas kamu, atau kah dilemamu?

Heran, apa sih yang kau pikirkan? Aku hanya ingin menyampaikan apa yang kupendam saja selama ini. Ketahuilah, perasaan bukan untuk dipermainkan. Tapi untuk dipikirkan baik-baik. Menggunakan nalar berdasarkan kenyataan. Jangan pernah abaikan masalah hati. Dia sensitif...

Jika kau dalam kebimbangan saat ini, aku pun demikian. Justru saat ini aku tengah berdiri di ambang perasaan dan kenyataan. Iya, harus tetap menunggumu dan membiarkan rasa sayang semakin tumbuh, atau cukup? Cukup memupuk hati, lantas berusaha membunuhnya dan menyelesaikan semuanya. Tampaknya pilihan kedua yang kurasa berat. tapi aku harus bagaimana? Sama sekali, aku tak mengetahui tentang hatimu, perasaanmu, dan pikiranmu. Jangankan melihat, untuk mengintip saja kau tak menyediakan celah..

Ah, sudah lah.. Biar berjalan apa adanya. Yang jelas, untuk saat ini aku masih ingin menunggumu. Iya, aku menunggu dan kau menjauh. Mengenai kau kembali atau tidak, itu urusan Tuhan. Biar Dia yang memutuskan. Aku tak akan memaksamu, dan tak akan pernah mengharuskan kehendakku. Aku percaya, yang dikasih Tuhan, itulah yang terbaik.
 
Serius, aku berharap padamu....

Rabu, 05 September 2012

Mungkin, Aku Memang Pemalu Nomor Satu di Muka Bumi Ini

Lagi-lagi, aku hanya bisa bersembunyi di balik tubuh teman-temanku saat kudapati kamu. Di mana pun itu, ketika sepasang mataku menemukanmu, hatiku seperti tersentak. Kaget bukan kepalang. Entahlah apa yang membuatku merasa demikian.

Kau tahu? Setiap hari di sekolah, ketika istirahat kedua, aku selalu memasang wajah cemas di balik jendela kaca kelasku, lantai dua. Menatap tajam ke arah pancuran mushola tempatmu biasa berwudhu. Menghitung detik, sampai menit, hingga akhirnya kau muncul di bawah sana. Mataku memang tak begitu tajam menangkap sosokmu yang lumayan jauh di bawah, tapi aku tahu betul itu kamu. Karena apa? Karena mata dan hati ini sudah terbiasa dengan perasaan untukmu.

Sungguh, aku ingin selalu menatapmu. Ketampananmu, dan keramahanmu selalu kurindukan. Tapi perasaan hati selalu menolak, tak kuasa lebih tepatnya. Terlanjur meleleh dan meluber tak terarah terlebih dahulu. Tubuhku selalu mendadak seperti kehilangan tulang, melunglai dan terjatuh tepat di ujung kakimu.

Jujur saja, aku malu bertemu denganmu. Meski kamu selalu menyapaku, tetap saja, ada yang berbeda. Iya, mungkin karena kamu memang tak sama dengan yang lain menurutku. Aku rasa, aku sudah cukup berusaha untuk "biasa saja" di depanmu. Tapi sayang, hati nurani memaksa. Ia lebih mengikuti perasaanku ketimbang otakku. Andai saja ada semacam abolisi untuk hati.

Aku selalu takut menampakkan diri di depanmu. Takut bajuku kurang pantas, takut kerudungku berantakan, intinya, takut tidak telihat menarik di matamu. Aku minder. Padahal, belum tentu juga kamu mempermasalahkan tentang hal itu. Jika boleh aku bertanya, Bagaimana definisi "menarik" menurutmu? Beri tahu aku dan aku akan melakukannya. Semacam akulturasi dan asimilasi, akan kupadukan definisimu dengan definisiku, menjadi satu kesatuan yang padu.

Ketika dunia memiliki penghuni yang mayoritas adalah pemalu, maka aku lah pemegang rekor pertama. Kamu tahu ciri-ciri orang yang sedang merasakan malu? Bermuka merah, mengalihkan pandangan, tubuhnya dingin, menutup muka atau mengepalkan tangan, lantas berjalan lebih cepat, bahkan lari sesegera mungkin. Tepat, itu adalah aku saat bertemu denganmu. Entah sengaja atau tidak, dan antara kau sadar atau tidak.

Maaf, jika aku selalu salah tingkah saat berinteraksi denganmu. Membuatmu tak nyaman dan risih (mungkin). Kalau sudah perasaan yang berkeinginan, apa daya otak dan perbuatan? Sekali lagi maaf, semoga kamu mengerti tentang ini. :)