Jumat, 04 Mei 2012

Menurutmu, Apa Judulnya?


Berkali-kali aku melihat jam tangan. Di sebuah kafe yang sudah kita sepakati, aku menunggumu. Di luar hujan. Aku mengetahui itu dari dinding kaca kafe yang berembun.

Saat itu pertama kali kita bertemu setelah sebulan lalu kau meminta nomor handphoneku pada teman dekatmu, yang juga temanku. Awalnya aku risih. Bagaimana tidak? Kau mengajak kenalan dengan cara yang tidak mutu menurutku. Kau SMS hampir setiap jam, missed call berkali-kali, dan setiap kutanya siapa kau dan ada perlu apa, kau tak pernah menjawabnya. Hingga kau akhirnya menyerah ketika panggilan dan SMS-mu sama sekali tak kuindahkan. Jangan kau pikir aku seperti gadis-gadis SMA lain yang menanggapi dengan sms, diteruskan pendekatan, lantas jadian. Tidak! Itu norak.
“Elsa?” sebuah suara tiba-tiba mengagetkan lamunanku. Seorang laki-laki sepantaranku dengan baju dan rambut basah telah berdiri di hadapanku.
“Eh, iya aku Elsa. Ivan?” sahutku. Kuulurkan tanganku, mengajakmu bersalaman. Tanganmu dingin, bibirmu juga membiru. Aku tahu kau kedinginan. Tak tega. Kulepas jaket kuningku. “Nih, pakai!” kataku ketus sambil mengulurkan jaket.
“Thanks,” kau bilang sambil tersenyum canggung.
Entah mengapa obrolan malam itu mengalir begitu saja. Kau selalu bisa membuatku tertarik dengan topik pembicaraan yang kau pilih. Sejak awal, aku suka nada bicaramu, aku suka wangimu meski sudah sedikit samar karena basah. Aku juga nyaman berada di dekatmu. Sampai aku tak merasakan dinginnya hujan malam itu.

Sejak pertemuan pertama itu aku tak pernah bisa tidur. Aku selalu menunggu handphoneku berdering. Berharap itu SMS darimu yang rutin mengucapkan “selamat tidur, gadisku. Aku tak berharap kau memimpikan aku. Aku hanya ingin kau tidur dengan perasaanmu yang selalu bersamaku. Ivanmu.” Aku senang dengan perhatianmu.

Seminggu kemudian, kau mengajakku ke toko buku. Entah itu hanya modusmu atau kau memang sedang memerlukan sebuah buku, yang jelas akulah gadis paling bodoh jika bilang “tidak” untuk ajakan kencan kedua ini.

“Aku sudah di depan,” SMS-mu. Kau datang menjemputku tepat pukul tujuh malam. Aku bergegas, seakan tak ingin kau menungguku terlalu lama. Ya, kalau kalian tahu, itulah penampilan paling rapiku selama ini. Kusaut helm, lalu berlari kecil menuju halaman.

Astagaaa, apa yang terjadi? Kau menjemputku dengan sepeda! Tuhaan, baru kali ini.
“Untuk apa bawa helm? Maaf, aku cuma punya ini,” kau tersenyum, mengarahkan bola matamu ke setir sepeda.
“Oh, iya deh. Sebentar, aku masukin helm dulu, ya?”
“Oke.”
Tak lama, aku kembali. Ini kencan pertamaku dengan sepeda. Kau memboncengku di belakang. Awalnya aku agak mengkal, tak nyaman. Tapi kau masih sama ketika kita pertama bertemu seminggu yang lalu. Kau banyak bicara, dan selalu asik. Aku mulai mengikuti permainanmu. Mengoceh sepanjang jalan, ramai di toko buku sampai ibu-ibu marah dengan kegaduhan kita. Yah, justru malam itu berakhir menyenangkan.

Hingga beberapa kali kau mengajakku jalan. Selalu dengan sepeda itu. Aku mulai terbiasa. Aku mulai menyukai berkencan dengan sepeda. Iya, aku sangat suka. Sampai akhirnya, kita jadian. Memang terlalu cepat. Tapi aku tahu kau menyayangiku. Pun demikian dengan aku. Aku mencintaimu.

Sayang, kau memutuskan mati sebelum waktunya. Kau menyayat pergelangan tanganmu dengan silet. Entah apa yang menjadi alasanmu. Kau ditemukan terkapar dalam kamar mandi. Tak bernyawa, pergi. Aku amat terpukul. Bahkan, bisa dibilang aku sedikit stres.

Bisa kalian bayangkan? Aku mendadak suka naik sepeda kemana pun. Aku suka ngomong sendiri di jalan ketika bersepeda. Curhat pada udara tentangmu. Aku percaya ia takkan ember. Aku bilang sedang rindu padamu, aku selalu suka wangimu, aku suka semua tentangmu.
“Sedang apa kau?”
“Oh, ini. Sedang ngarang aja! Nggak ada kerjaan dan tiba-tiba inspirasiku mati. Jadi, aku nggak nemuin ending yang bagus.”
“Teruskan saja nanti kalau sudah ada inspirasi.”
(Ini ceritanya curhat, gagal bikin cerpen! L Sekali-kali cerpen gagal dipost. J)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar