Minggu, 20 Mei 2012

Ambang Batas yang Berbeda Tipis


Abang, aku melihatmu dalam bayangan cermin. Ya, tiba-tiba saja kau muncul. Di belakangku, siluet tipis yang menajam, semakin tajam, hingga terwujudlah sosokmu. Aku kaget setengah mati! Hendakku percaya ilusi itu, tapi takut-takut jikalau harapku tak bisa kuyakini.

Entahlah, Bang. Aku enggan menoleh ke belakang. Aku lebih senang melihatmu dari cermin ini. Sambil kusisir pelan rambut panjangku (yang sedikit) dan menjuntai ke depan. Sebenarnya, aku ingin bertanya satu hal; apa yang kau lakukan di situ, Bang? Sayangnya kerongkonganku tercekat. Bukan apa-apa, aku lebih nyaman, lebih betah memandangmu. Hanya memandangmu. Menyusur setiap detail yang ada padamu. Gestur wajahmu, lekuk tubuhmu, dan mili demi mili gerakmu.

Ah, Abang! Sesekali kau tersenyum. Tentu saja padaku, bukan? Bodoh saja jika kau tersenyum pada cermin di depanku. Bagaimana tidak? Di kamar ini hanya ada kita berdua. Kau dan aku.

Lantas kubalas dengan senyum pula. Sejujurnya, Bang, aku tahu aku hanya berkhayal. Tapi, aku masih tak habis pikir, kenapa aku berkhayal tentang kau. Bukan tentang yang lain. Apa karena aku merindukanmu yang tega pergi tanpa pamit?

Bang, kau lihat? Rambutku merontok. Semakin sering kusisir, semakin banyak yang jatuh. Astaga, Bang! Kau kenapa menangis? Kau tak tega melihat aku yang pucat? Percayalah, Bang. Istrimu ini tidak sedang kesakitan. Bukankah obatnya sudah di depan mata?

Kau mau mengajakku ke mana, Bang? Kenapa tiba-tiba kau menjulurkan tanganmu? Apa? Kau sungguh menyentuhku? Berarti ini nyata? Baiklah, Bang! Aku ikut kemana pun kau mengajakku. Tunggu sebentar, kurapikan dulu rambutku. Agar aku terlihat sedikit lebih cantik. Tak ada salahnya kan aku membuatmu betah untuk memandangku? Ayuk, Bang. Kita pergi berdua.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tunggu, Bang! Bukankah itu aku? Iya, yang terbaring di ranjang itu. Bukankah itu anak kita? Kenapa dia menangis di atas tubuhku, Bang? Ibu, ibu mertua, ayah? Semua menangis? Jangan kau diam saja! Jelaskan padaku, ada apa, Bang?

Suster? Loh,  kenapa mukaku ditutup kain putih? Bang, jawab! Tega sekali kau membuat istrimu ini bertanya terus! Mau dibawa ke mana tubuhku? Lalu?

Baiklah, aku mengerti sekarang. Jadi, kau mengajakku meninggalkan mereka? Iya, Bang. Mari kita pergi. Gandeng aku, Bang.

6 komentar:

  1. seppp.........,
    kalau ada waktu posting tiap hari...,
    setelah itu baru dijadika sebuah buku "ekspresi aul"....

    drakula ompong...

    BalasHapus
  2. Aamiiinn.. Makasih, Mas.:D Bakalan nggak lupa sama Ikopi..:*

    BalasHapus
  3. ini menciritakan dibawa malaikat maut ya mbak? hi.. seyem....

    BalasHapus
  4. Serem? Tuh belakangmu tuh..:p

    BalasHapus
  5. begitu dekat, hingga akupun sulit untuk menyekat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dua hal yang berbeda, tapi membaur menjadi sebuah klise.. (alaaah)

      Hapus