Jumat, 04 Mei 2012

Aku Sayang Bunda, Sayang Ayah


Yudha membuka album itu. Remaja 17 tahun itu sedikit risih dengan kotoran yang menempel di permukaan album. Banyak debu, kotor,  usang. Maklum, sudah bertahun-tahun album itu tertumpuk di gudang. Terdapat foto sebuah keluarga kecil dengan bebagai pose di dalamnya. Terdiri dari ibu muda. Ibu muda yang cantik, melebarkan senyumnya. Terlihat barisan giginya yang rapi. Di tengah, ada bayi kecil satu tahunan. Mata lebar. Pipi tembam dengan lesung manis. Bahagia sekali keluarga itu.

Yudha membuka pelan, mengamati lembar demi lembar album itu. Semakin ke halaman belakang, dahinya semakin mengernyit. Masalahnya, ia tidak mengenal satu sosok lain selain ibunya dan bayi kecil dalam album itu. Ya, sosok yang asing menurutnya. Laki-laki tinggi berkulit sawo matang yang duduk di sampingnya dalam foto itu. Matanya terang, kebapakan. Raut mukanya tampan, nyaris mirip dengan bayi kecil di sampingnya.

“Yudha, sudah ketemu, nak sketsa gambarmu?” bunda membuka pintu gudang, mencari putranya.
“Eh, belum, Bun. Susah nyarinya!” tak menoleh, masih tetap mengamati takzim gambar-gambar dalam album. “Bun, ini bunda, kan? Dan ini aku. Lantas, siapa laki-laki ini? Ayah?” masih tetap tak mengubah arah pandangnya dari album.

Bundanya diam. Sama sekali tidak ada jawaban. Sepersekian detik, tetap tak ada suara. Yudha menoleh, bundanya sudah teduduk di atas kursi bekas yang ikut memenuhi gudang itu. Terpaku, bulir air mata tak kuasa mengintip dan jatuh dari mata sendu bunda.

Tentu Yudha kebingungan. Ia takut ada yang salah dengan perkataannya tadi. Memang, Yudha selalu takut menyakiti hati bundanya. Ia terlalu menyayangi perempuan yang hidup bersamanya 17 tahun ini. Disentuhnya lutut bunda, menunduk, berlutut, isyarat permintaan maaf.

“Iya, dia  Ayahmu,” kata bunda tiba-tiba.
“Maaf, Bunda. Kenapa selama ini Bunda tak pernah mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku tentang ayah? Bunda selalu bilang ayah baik-baik saja di suatu tempat. Tapi, Bunda tak pernah mau mengatakan tempat itu di mana. Seakan Bunda merahasiakan siapa ayah dariku,” Hening. “Aku ini anak ayah, Bunda,” nyaris berbisik. Yudha mendongak, menatap mata bundanya.
“Ayah sudah siap?”
“Siap tidak siap harus siap, Bun. Demi anak kita,” ayah tersenyum menenangkan kecemasan bunda. Di elusnya pelan perut bunda yang buncit besar.
“Sudahlah, Yah. Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Aku memang tak pernah bisa membahagiakanmu.”
“Sssttt... Kau selalu membuatku bahagia. Kau pikir selama ini aku menikahimu karena apa? Tentu, karena tak akan ada wanita lain yang bisa kucintai sepertimu,” menyolek pipi bunda.
Bunda tersenyum. Betapa ia mencintai laki-laki di hadapannya itu.
“Tapi bagaimana dengan Ayah?”
“bagaiman apanya? Aku bukan pengecut. Aku masih bisa hidup dengan satu ginjal ini, sayang.”

Dan benar. Dua hari kemudian tubuh terbaring ayah sudah digelendeng penuh belalai menuju ruang operasi. Disusul sesosok tua yang mungkin sekarat. Sama halnya dengan ayah. Tubuhnya penuh belalai medis. Sesekali ia kejang-kejang, seakan tak sabar menunggu ginjal baru memperpanjang usianya.
“Ketika kau berumur satu tahun, ayahmu tega meninggalkan kita. Terlalu cepat Tuhan mengambilnya,” tangis bunda memecah sepinya gudang.
“Ka-re-na a-pa, Bun?” tanya Yudha hati-hati.
“Karena kebandelan ayahmu sendiri. Waktu itu ayah bohong sama bunda. Ayah bilang kalau kedua ginjalnya berfungsi baik. Tak masalah jika salah satu harus didonorkan pada kakek itu yang keluarganya berjanji membiayai semua operasi kelahiranmu. Bukan operasi persalinan biasa. Rahim bunda bermasalah. Dokter sudah bilang atas resiko kehamilan itu sebelumnya. Tapi bunda tak ingin mengecewakan ayah. Bunda memaksa mengandung. Bunda ingin menjadi wanita sempurna, Yudha. Yang bisa melahirkan kau.”
Yudha terdiam. Sesekali mengusap ujung matanya yang berair. Bagaimana tidak? Cerita bunda benar-benar menohok hatinya. Kenyataan ini seperti petir tanpa hujan yang menyambar pohon di siang bolong.
“Ternyata setelah ayahmu pergi, baru semua terbongkar. Dokter bilang memang ginjal yang tertinggal di tubuh ayah sudah rusak. Bahkan, sisa waktu ayah yang setahun itu termasuk keajaiban. Seketika bunda marah. Bunda berteriak. Ingin rasanya mengganti nyawa ayah dengan nyawa dokter itu. Entahlah, kala itu dokter lah yang paling bersalah menurut bunda!” suara bunda meninggi.
“Jadi, aku hidup dengan nyawa ayah, Bun?”
“Tidak, sayang. Kau tak tahu apa-apa tentang ini. Kau hanya korban. Ini terjadi atas keegoisan ayah dan bundamu. Itulah kenapa bunda merahasiakan semua ini. Bunda tak ingin kau merasakan apa yang bunda rasakan. Sakit, rindu dengan ayahmu, ingin berteriak, apapun itu, yang jelas sangat tidak enak. Maafkan kami, Nak,” anak dan ibu itu saling memeluk. Menangis bersama.
“Aku sayang sama bunda, sama ayah. Aku yakin, sekarang kita bertiga tak bersama di sini, Bunda. Tapi kita akan berkumpul nanti, di waktu yang tepat dan tempat yang lebih baik.”
Bunda mengangguk mengerti. Tersenyum. Betapa ia bangga dengan putranya. Berjiwa besar, mengerti apa arti sebuah pengorbanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar