Kamis, 08 Maret 2012

Hentikan Napasku di Pangkuan-Mu

Seorang sufi duduk termangu di atas sajadah. Malam, gelap, sendiri. Senyap, sepi, hening menemaninya. Satu dua bulir air mata tampak di permukaan pipi dan ujung-ujung mata merahnya. Mungkin ini sudah hari kedua ia tidak tidur. Hanya itu yang dilakukannya. Sholat ketika waktunya dan duduk beralas sajadah setelah berdzikir. Pikirannya menerawang jauh di masa lalu. Terbayang banyak hal hina, dosa yang pernah dilakukannya. Ya, banyak.

"Bapak mau kemana?" tanya seorang gadis kecil yang selalu ingin dimanja orang tuanya.
"Kau ini tahu apa?! Bapak mau cari duit!" jawab lelaki gondrong dan bermuka kusut.
"Tapi Bapak pulang nggak pernah bawa duit!" kata gadis itu lagi. Nadanya sedikit protes.
Tanpa pikir panjang, dipukulnya gadis itu. Digampar dengan tangan mengepal lantas ia pergi dengan langkah cepat. Yang dipukul hanya menatap nanar punggung laki-laki itu.

Laki-laki itu lagi, yang pamitnya cari duit, pergi meninggalkan bekas biru di pipi gadis kecil tadi, ternyata dirinya justru pergi ke tempat mengundi nasib, mencari keberuntungan dengan kartu-kartu haram. Bukan itu  saja, sambil menimbang-nimbang kartu mana yang harus ia jatuhkan, diteguknya khamr dalam  botol itu  sedikit demi sedikit. Main terus hingga malam benar-benar larut. Awan semakin pekat.

"Hahahahaha.. Aku beruntung sekali malam ini!" teriaknya seketika. Laki-laki itu berkali-kali menang dalam permainan judinya. Segepok duit masuk kantungnya. Tentu saja tebal.

Namanya saja begundal. Dengan uang sekantung penuh, bukannya pulang justru memutuskan pergi ke sebuah tempat biangnya dosa. Dengan langkah gontai, terbayang wajah-wajah wanita cantik, seksi, dan pastinya murahan. Diikutinya hawa nafsunya itu hingga menjelang pagi. Fajar menyingsing, baru ia memutuskan untuk pulang.
"Mana duitnya, Bapak?" tanya gadis kecil itu. "Badan Bapak bau!" lanjut gadis itu sambil menutup hidungnya, seakan tidak ingin mencium aroma tubuh bapaknya.
"Nggak ada!" berlalu, masuk kamar, dan tidur.
Pagi itu, istri laki-laki itu  mendekat.
"Pak, uang belanja habis. Anak kita juga belum bayar sekolah," kata sang istri. "Uang dagangan kerupuk kemarin sudah habis untuk melunasi hutang di warung sebelah," lanjutnya.
Laki-laki itu diam. Tetap tidur dengan enaknya.
"Pak...," kata sang istri lagi. Disentuhnya bahu suaminya karena merasa suaminya tidak mendengarnya.
"Kau ini apa-apaan sih? Tau suaminya lagi tidur, capek, masih aja diganggu! Bisa tidak sekali-kali kau membuat suamimu ini senang dengan menghentikan racauan masalah duitmu itu?" teriak laki-laki itu. Keras.
"Bapak capek ngapain? Cari duit ya? Tapi kenapa pulang nggak pernah bawa duit?" kata sang istri. Masih dengan nada lembut.
Pllaakkkk pllaakkkk... Dua kali ditamparnya sang istri. Ia kalap. Pengaruh minuman kerasnya belum hilang seratus persen. Istrinya tak kuasa melawan. Hanya menangis dengan teriakan ironis.

Belum puas, dijambaknya rambut gimbal istrinya, dan dibenturkan tepat dipinggiran tempat tidur. Putrinya tak berani berbuat apa-apa. Hanya melihat ibunya disiksa dari radius beberapa meter.

Berdarah! Lantas istrinya tak sadarkan diri. Melihat istrinya terkulai lemas, laki-laki itu justru merasa senang. Tak ada lagi yang mengganggunya tidur dengan rengekan masalah duit. Dibiarkan istrinya pingsan dengan jidat berdarah.

Beberapa jam setelah kejadian naas itu, laki-laki itu terbangun, perutnya meraung ingin makan. Dilihatnya istrinya masih tergeletak di bawah tempat tidur.

"Hei! Bangun kau! Buatkan aku makan!" dibangunkannya sang istri dengan tendangan-tendangan kecil. Namun, istrinya tak bergarak sedikitpun. Kemudian ditendangnya lagi. Lebih keras dan dengan teriakan lebih lantang pula. Tapi tetap saja, sang istri tak menunjukkan reaksi.

Laki-laki itu merasa aneh. Dipegangnya urat nadi sang istri, tak berdenyut! Dirasakannya hembusan napas sang istri, tak ada hembusan! Logikanya mulai berfungsi. Istrinya meninggal. Ya, istrinya pergi selamanya. Dan yang lebih parah, ini gara-gara perbuatannya.

Laki-laki itu menangis. Dipeluknya tubuh kurus istrinya yang sudah tidak bernyawa. Sesekali dikoyak-koyaknya tubuh kecil itu dengan harapan istrinya akan terbangun.

Hari itu, seorang begundal menangis keras. Seorang keparat mengeluarkan air matanya untuk pertama kalinya. Tak bisa dimungkiri, ia mencintai istrinya. Hanya saja hawa napsu dan emosinya yang berhasil menguasainya. Dan sekarang, perempuan yang dicintainya harus pergi darinya untuk selamanya.

Tangis itu semakin sesenggukan. Membuat bulatan basah kecil di permukaan sajadahnya. Matanya semakin kuyu. Kemudian ditengadahkannya tangannya. Pandangannya mengarah ke langit-langit kamar gelap itu seakan Tuhannya ada di sana. Dilantunkannya doa yang benar-benar indah menurut saya:

"Ya Allah, ampuni segala dosa hamba-Mu ini. Hamba yang hina, hamba yang kotor. Hamba yang telah tega membunuh tulang rusuk hamba sendiri. Ya Allah, hanya kepada Engkaulah hamba memohon ampun. Karena hanya Engkaulah yang paling berkuasa di muka bumi ini. Ya Allah Ya Tuhanku, hamba sadar bahwa surga tidak pantas untuk hamba. Tapi hamba juga tidak akan sanggup jika harus menerima beratnya hukuman neraka-Mu. Hamba hanya mohon satu hal Ya Allah, jangan Kau putus napas hamba jika hamba belum benar-benar dekat dengan-Mu. Bimbing hamba. Tuntun hamba agar selalu menyusuri jalan-Mu yang lurus, menuju pangkuan-Mu. Hentikan napasku di sana, dalam ridho dan ampunan-Mu. Amiinn."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar