Senin, 19 Maret 2012

Tuhanku Maha Adil

"Dek, boleh saya duduk?" ibu-ibu hamil itu menatapku melas. Wajahnya pucat. Mungkin ibu-ibu itu menganggap anak SMA seusiaku lebih kuat jika harus berdiri selama naik bus. menahan goncangan-goncangan yang ditimbulkan oleh gerakan bus. Apalagi aku ini laki-laki. Ya, meskipun tubuhku tergolong kurus dibanding anak laki-laki usia SMA pada umumnya waktu itu.

"Oh, silakan, Buk!" jawabku seketika. Aku tak tega melihat ibu-ibu itu. Perutnya besar, mungkin hamil tujuh bulanan. Kulihat sekitar, memang tak ada lagi tempat duduk kosong di bus yang kunaiki itu.

Aku berdiri di sela-sela kursi penumpang, baris ke-tiga. Bergelayutan berpegangan dinding-dinding bus yang dapat kujangkau dengan tanganku. Tubuhku ke belakang saat pak sopir menginjak gas, dan ke depan saat pak sopir menginjak rem.

Siang itu sangat terik. Di dalam bus pun terasa begitu panas. Kerongkonganku kering. Kulihat anak kecil, kira-kira kelas 3 Sekolah Dasar, menenggak segelas es sirup yang dibelinya di pedagang asongan barusan. Tadinya aku juga ingin membeli. Sayangnya sudah tak ada lagi sepeser uang pun di kantongku.

Aku mungkin adalah salah satu anak yang tidak beruntung dibandingkan dengan teman-temanku yang lain kala itu. Mereka di beri uang saku yang cukup, bahkan banyak oleh orang tua mereka. Sedangkan aku? Sehari hanya dikasih uang saku 600 perak. Itu pun selalu habis untuk naik bus pulang pergi. Bayangkan, tahun 2005 masih ada uang saku segitu!

Aku tidak pernah pergi ke kantin. Hanya sekali dua saja. Itu pun kalau ada teman yang kasihan melihatku meringis menahan lapar. Yang kulakukan saat istirahat hanya duduk di mejaku. Diam, atau membaca buku. Ya, hanya itu!

Bayar SPP juga selalu telat. Kasihan bu guru yang bertugas menagih SPP. Selalu gagal saat datang kepadaku.

Jujur, saat itu aku sedang menyukai seorang wanita. Cantik, menarik, kaya, dan tergolong primadona di sekolahku. Dia kakak kelasku satu tingkat. Aku kelas XI, dia XII. Tapi apa dayaku? Aku tak mau terlalu menganggap serius perasaanku itu. Aku sadar dengan diriku. Mana mau dia denganku? Penampilanku tidak semenarik teman laki-lakiku yang lain.

Ahh, terkadang aku ingin marah dengan keadaanku sekarang. Tapi aku rasa juga tak ada gunanya. lagian, aku tak tahu harus marah kepada siapa.

Aku hanya dapat memandangi wajahnya dari jendela kelas saat jam pulang sekolah. Kulihat ketika dia bergurau dengan teman-temannya sambil menunggu mobil jemputannya datang. Aku memang sengaja pulang lebih akhir. Masalahnya, masih dua jam lagi bus jurusan rumahku yang biasa kutumpangi melewati halte seberang jalan sekolahku. Alhasil, aku harus menahan rasa laparku. Sedikit bersabar untuk sekedar mengisi perut.

Nah, itu dia rumahku. Aku turun dari bus, dan segera lari. Bukan apa-apa, aku sudah tak tahan ingin melepas dahaga yang sedari tadi mendera ujung mulut hingga ujung tenggorokkanku.

Namun tak sesederhana itu. Ayahku membiasakan anak-anaknya untuk tidak langsung makan dan minum dulu sepulang sekolah. Aku harus ganti baju, berwudhu, dan shalat dhuhur dulu, baru boleh makan. Akhirnya, setelah syarat-syarat itu kulakukan, aku bisa menikmati sepiring nasi dengan sambal bawang dan sepotong tempe, serta segelas air putih. Tambah lagi? Tidak bisa. Kakak dan adikku belum makan.

Hari menjelang sore. Aku harus membantu orang tuaku mencari tambahan. Kuambil karung, dan aku bergegas melangkah ke daerah lapangan golf yang tak jauh dari rumahku. Kucari bola-bola golf bekas, kukumpulkan, dan kujual pada tukang rosok. Tidak seberapa, tapi lumayan. Setidaknya ibuku bisa membeli beras besok.

Sambil menunggu bola-bola golf sisa permainan yang lain, iseng-iseng aku bermain bola dengan teman-teman. Tanpa sepatu. Ya, daripada untuk membeli sepatu bola, lebih baik ditabung untuk membayar tunggakkan SPP.

Dibalik itu semua, perjuanganku menahan lapar, menepis panasnya terik matahari, ternyata Tuhan punya rencana lain. Sekarang aku bisa hidup lebih baik. Sangat baik malah. Dengan keseharian yang serba cukup, pekerjaan yang baik, dan istri yang cantik. Mungkin ini bayaran atas usahaku dulu. Tuhan memang selalu adil. Hanya satu yang bisa kulakukan, bersyukur! Bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan untukku.

Terimakasih ya Allah..:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar