Jumat, 01 Juni 2012

Sepotong Surat

Lama aku ingin membuktikan bahwa kau pecundang. Ternyata semua itu keliru. Kesipulanku salah. Aku terlalu bodoh menafsirkan kata-katamu. Mas, sebentar lagi aku akan menerbitkan kumpulan puisiku. Judulnya bagus. Terima kasih atas inspirasi dari bau badanmu yang tetap wangi meski kau tak pernah memakai parfum. Aku juga terkesan kehalusan kakimu meski tak pernah kau lidungi dengan kaos kaki. Setujukah bila puisiku kuberi judul: Laki-laki Tanpa Parfum dan Kaos Kaki? Aku senang bersahabat denganmu. Tak lebih dari itu, karena aku tahu isterimu pencemburu.


Jujur aku mengagumimu dan selalu. Ada bentuk kepribadian lain yang kutemukan padamu. Dan itu sulit kujelaskan dengan kata-kata. Aku hanya bisa merasakan. Jika pun kekagumanku itu kuteruskan untuk memilikimu kemungkinan yang akan terjadi mudah kutebak. Aku terima kasih banyak.

Ada peristiwa paling kusukai sepanjang hidupku saat kau menciumku waktu gerimis kita menunggu kedatangan bus kota. Kemudian tanpa rencana kita berdua terdampar semalam di hotel pinggiran kota. Kau hebat, Mas. Kita tidur bersama sebatas kawan tempat berbagi pengalaman. Berkali-kali aku minta, kau tetap tersenyum bahwa semua itu hanyalah bentuk pelampiasan sesaat yang tidak baik bagi pikiran dan perasaan. Dampaknya lebih panjang ketimbang proses itu sendiri.

Aku sangat menghormatimu sebagaimana penghormatanku pada ayah dan suamiku walau kau tak sebrengsek mereka. Selamat malam. Tidurlah semoga hari-harimu esok lebih baik. Ati-ati, jaga diri baik-baik.


(Cak Sariban, "Wanita Tanpa Tisu, Laki-laki Tanpa Kaos Kaki: 91-93)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar