Jumat, 12 Oktober 2012

Lima Musim


 
Kemarau, dengan tegas mamintaku bersabar. Untuk menanti hujan, menunggu basah. Aku yakin, bahwa sebenarnya ia tahu kerontangnya mangkuk hati, belanga perasaan. Tapi, tetap saja, kamarau memintaku menarik napas panjang untuk bersabar..

Hujan, memaksaku tenggelam. Banjir dengan duka, terhanyut arus luka. Sungguh, hujan terlalu membasahi kertas. Sekali sentuh robek, kemudian hancur. Iya, hilang ditelan gelombang.

Salju, membuatku menggigil. Membekukan asa menjadi angan. Kau tahu? ketika aku merasa kedinginan dalam gelap, angan pun membias lalu ikut menghitam. Menyentuh? Mustahil!! Ia terlanjur "entah ke mana"...

Gugur sama saja. Menjatuhkan harapan sampai pecah. Hendak kupungut dan kusambung lagi serpihannya, angin terlanjur menyapunya pergi. Mengejar? Kakiku terlalu pendek. Biar kutatap saja punggung angin itu. Dalam hati kubilang "pergilah.. gugur mengajariku tentang keikhlasan"..

Dan demikian dengan semi. Menyuburkan tanaman lara dalam hati. Dengan apa aku harus memusnahkannya? Mencabutnya samapai akar? Tanganku justru dilukai durinya. Memberi cairan racun? Astagaa, kenapa malah aku dipaksanya untuk menenggaknya? Semua sudah gelap, kemudian memekat.

Sejak lima musim itu, aku serasa "hidup segan mati tak mau". Kubuka mata, tetap gelap. Hatiku? Diiris pun tak masalah. Pengalaman akan mudah menyatukannya kembali menjadi utuh..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar