Jumat, 08 Maret 2013

Selembar Gerimis dalam Buku Malam

Terkungkung rindu. Tebal kabut kian membeku. Ada, pasti ada. Kondisi ini diciptakan Tuhan dengan sengaja. Bayangan mendekam kaku, memeluk lutut. Ada yang ganjil! Si Buta melihat Si Bisu sedang tidur. Si Bisu mengigau, mengucap serapah untuk Si Buta. Kerongkongan beku tercekat!
 
Di sudut pekat, malam membuka lembar demi lembar bukunya. Terus, hingga sampai pada sebuah halaman. Namanya "lembar gerimis". Lembar itu yang paling basah ketimbang lembar yang lain. Tinta yang menyetubuh dengan kertasnya pun kedinginan, lalu luntur. Malam heran tak terkira.

Tak ingin lembar yang lain ikut basah, malam merobek lembar gerimis. Padahal, lembar gerimis layaknya jantung buku itu. Bayangkan! Jantung yang dilepas paksa dari tubuhnya, bagaimana rasanya? Tapi, lembar gerimis tak menangis, bersedih, atau mendendam. Meski berdarah-darah, ia tak ingin tubuhnya semakin basah.

Itulah sebabnya, mengapa Si Bisu menyumpahi Si Buta. Siapa yang tahu kalau malam yang merobek lembar gerimis, ternyata bukanlah malam yang sesungguhnya. Ia adalah jelmaan dingin yang bertabiat iblis. Si Buta tak bisa menjaga buku malam dengan baik ketika Si Bisu lengah sebentar. Ia terlalu mudah terkecoh dengan muslihat dingin.

Yah, dan Si Bisu dan Si Buta, yang dipercaya malam untuk menjaga bukunya, telah menyihir dingin menjadi beku yang tercekat! Dan mereka sendiri? Menunggu sanksi dari malam yang masih tertidur pulas. Bertanggungjawab atas kelalaian mereka. Menungu yang tak berbatas waktu. Karena, entah kapan malam akan bangun dari tidur panjangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar