Berkali-kali aku
melihat jam tangan. Di sebuah kafe yang sudah kita sepakati, aku menunggumu. Di
luar hujan. Aku mengetahui itu dari dinding kaca kafe yang berembun.
Saat itu pertama kali
kita bertemu setelah sebulan lalu kau meminta nomor handphoneku pada teman
dekatmu, yang juga temanku. Awalnya aku risih. Bagaimana tidak? Kau mengajak
kenalan dengan cara yang tidak mutu menurutku. Kau SMS hampir setiap jam, missed call berkali-kali, dan setiap
kutanya siapa kau dan ada perlu apa, kau tak pernah menjawabnya. Hingga kau
akhirnya menyerah ketika panggilan dan SMS-mu sama sekali tak kuindahkan. Jangan
kau pikir aku seperti gadis-gadis SMA lain yang menanggapi dengan sms, diteruskan
pendekatan, lantas jadian. Tidak! Itu norak.
“Elsa?” sebuah suara
tiba-tiba mengagetkan lamunanku. Seorang laki-laki sepantaranku dengan baju dan
rambut basah telah berdiri di hadapanku.
“Eh, iya aku Elsa.
Ivan?” sahutku. Kuulurkan tanganku, mengajakmu bersalaman. Tanganmu dingin,
bibirmu juga membiru. Aku tahu kau kedinginan. Tak tega. Kulepas jaket
kuningku. “Nih, pakai!” kataku ketus sambil mengulurkan jaket.
“Thanks,” kau bilang
sambil tersenyum canggung.
Entah mengapa obrolan
malam itu mengalir begitu saja. Kau selalu bisa membuatku tertarik dengan topik
pembicaraan yang kau pilih. Sejak awal, aku suka nada bicaramu, aku suka
wangimu meski sudah sedikit samar karena basah. Aku juga nyaman berada di
dekatmu. Sampai aku tak merasakan dinginnya hujan malam itu.
Sejak pertemuan pertama
itu aku tak pernah bisa tidur. Aku selalu menunggu handphoneku berdering.
Berharap itu SMS darimu yang rutin mengucapkan “selamat tidur, gadisku. Aku tak
berharap kau memimpikan aku. Aku hanya ingin kau tidur dengan perasaanmu yang
selalu bersamaku. Ivanmu.” Aku senang dengan perhatianmu.
Seminggu kemudian, kau
mengajakku ke toko buku. Entah itu hanya modusmu atau kau memang sedang
memerlukan sebuah buku, yang jelas akulah gadis paling bodoh jika bilang
“tidak” untuk ajakan kencan kedua ini.
“Aku sudah di depan,”
SMS-mu. Kau datang menjemputku tepat pukul tujuh malam. Aku bergegas, seakan
tak ingin kau menungguku terlalu lama. Ya, kalau kalian tahu, itulah penampilan
paling rapiku selama ini. Kusaut helm, lalu berlari kecil menuju halaman.
Astagaaa, apa yang
terjadi? Kau menjemputku dengan sepeda! Tuhaan, baru kali ini.
“Untuk apa bawa helm?
Maaf, aku cuma punya ini,” kau tersenyum, mengarahkan bola matamu ke setir
sepeda.
“Oh, iya deh. Sebentar,
aku masukin helm dulu, ya?”
“Oke.”
Tak lama, aku kembali.
Ini kencan pertamaku dengan sepeda. Kau memboncengku di belakang. Awalnya aku
agak mengkal, tak nyaman. Tapi kau masih sama ketika kita pertama bertemu
seminggu yang lalu. Kau banyak bicara, dan selalu asik. Aku mulai mengikuti
permainanmu. Mengoceh sepanjang jalan, ramai di toko buku sampai ibu-ibu marah
dengan kegaduhan kita. Yah, justru malam itu berakhir menyenangkan.
Hingga beberapa kali
kau mengajakku jalan. Selalu dengan sepeda itu. Aku mulai terbiasa. Aku mulai
menyukai berkencan dengan sepeda. Iya, aku sangat suka. Sampai akhirnya, kita
jadian. Memang terlalu cepat. Tapi aku tahu kau menyayangiku. Pun demikian
dengan aku. Aku mencintaimu.
Sayang, kau memutuskan
mati sebelum waktunya. Kau menyayat pergelangan tanganmu dengan silet. Entah
apa yang menjadi alasanmu. Kau ditemukan terkapar dalam kamar mandi. Tak
bernyawa, pergi. Aku amat terpukul. Bahkan, bisa dibilang aku sedikit stres.
Bisa
kalian bayangkan? Aku mendadak suka naik sepeda kemana pun. Aku suka ngomong sendiri
di jalan ketika bersepeda. Curhat pada udara tentangmu. Aku percaya ia takkan
ember. Aku bilang sedang rindu padamu, aku selalu suka wangimu, aku suka semua
tentangmu.
“Sedang apa kau?”
“Oh, ini. Sedang
ngarang aja! Nggak ada kerjaan dan tiba-tiba inspirasiku mati. Jadi, aku nggak
nemuin ending yang bagus.”
“Teruskan saja nanti
kalau sudah ada inspirasi.”
(Ini ceritanya curhat,
gagal bikin cerpen! L Sekali-kali cerpen gagal dipost. J)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar