Abang, aku melihatmu
dalam bayangan cermin. Ya, tiba-tiba saja kau muncul. Di belakangku, siluet
tipis yang menajam, semakin tajam, hingga terwujudlah sosokmu. Aku kaget setengah
mati! Hendakku percaya ilusi itu, tapi takut-takut jikalau harapku tak bisa
kuyakini.
Entahlah, Bang. Aku
enggan menoleh ke belakang. Aku lebih senang melihatmu dari cermin ini. Sambil
kusisir pelan rambut panjangku (yang sedikit) dan menjuntai ke depan.
Sebenarnya, aku ingin bertanya satu hal; apa yang kau lakukan di situ, Bang? Sayangnya
kerongkonganku tercekat. Bukan apa-apa, aku lebih nyaman, lebih betah
memandangmu. Hanya memandangmu. Menyusur setiap detail yang ada padamu. Gestur wajahmu,
lekuk tubuhmu, dan mili demi mili gerakmu.
Ah, Abang! Sesekali kau
tersenyum. Tentu saja padaku, bukan? Bodoh saja jika kau tersenyum pada cermin
di depanku. Bagaimana tidak? Di kamar ini hanya ada kita berdua. Kau dan aku.
Lantas kubalas dengan senyum pula. Sejujurnya, Bang, aku tahu aku hanya berkhayal. Tapi, aku masih tak habis pikir, kenapa aku berkhayal tentang kau. Bukan tentang yang lain. Apa karena aku merindukanmu yang tega pergi tanpa pamit?
Lantas kubalas dengan senyum pula. Sejujurnya, Bang, aku tahu aku hanya berkhayal. Tapi, aku masih tak habis pikir, kenapa aku berkhayal tentang kau. Bukan tentang yang lain. Apa karena aku merindukanmu yang tega pergi tanpa pamit?
Bang, kau lihat?
Rambutku merontok. Semakin sering kusisir, semakin banyak yang jatuh. Astaga,
Bang! Kau kenapa menangis? Kau tak tega melihat aku yang pucat? Percayalah,
Bang. Istrimu ini tidak sedang kesakitan. Bukankah obatnya sudah di depan mata?
Kau
mau mengajakku ke mana, Bang? Kenapa tiba-tiba kau menjulurkan tanganmu? Apa?
Kau sungguh menyentuhku? Berarti ini nyata? Baiklah, Bang! Aku ikut kemana pun
kau mengajakku. Tunggu sebentar, kurapikan dulu rambutku. Agar aku terlihat
sedikit lebih cantik. Tak ada salahnya kan aku membuatmu betah untuk
memandangku? Ayuk, Bang. Kita pergi berdua.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tunggu, Bang! Bukankah
itu aku? Iya, yang terbaring di ranjang itu. Bukankah itu anak kita? Kenapa dia
menangis di atas tubuhku, Bang? Ibu, ibu mertua, ayah? Semua menangis? Jangan
kau diam saja! Jelaskan padaku, ada apa, Bang?
Suster? Loh, kenapa mukaku ditutup kain putih? Bang,
jawab! Tega sekali kau membuat istrimu ini bertanya terus! Mau dibawa ke mana
tubuhku? Lalu?
Baiklah, aku mengerti
sekarang. Jadi, kau mengajakku meninggalkan mereka? Iya, Bang. Mari kita pergi.
Gandeng aku, Bang.
seppp.........,
BalasHapuskalau ada waktu posting tiap hari...,
setelah itu baru dijadika sebuah buku "ekspresi aul"....
drakula ompong...
Aamiiinn.. Makasih, Mas.:D Bakalan nggak lupa sama Ikopi..:*
BalasHapusini menciritakan dibawa malaikat maut ya mbak? hi.. seyem....
BalasHapusSerem? Tuh belakangmu tuh..:p
BalasHapusbegitu dekat, hingga akupun sulit untuk menyekat.
BalasHapusDua hal yang berbeda, tapi membaur menjadi sebuah klise.. (alaaah)
Hapus